Laman

Rabu, 02 Januari 2013

Hal terindah yang tak terlihat


 “Kata orang, dunia itu sangat indah. Gunung-gunung terlihat elok saat diselimuti awan dan kabut dingin. Laut yang membentang biru layaknya permadani maha luas. Belum lagi satwa-satwanya, gedung-gedung tingginya, semuanya. Kau beruntung bisa melihatnya.” Ucapku sambil tersenyum, entah apakah lawan bicaraku ini sedang mengeluarkan ekspresi apa di wajahnya.
“Oh maaf, kukira kau bisa melihat, lantas bagaimana kau bisa melantunkan kalimat-kalimat di dalam kitab sucimu dengan bagus sekali?” kudengar isak tangisnya sedikit berkurang.
“Kitab ini khusus untuk orang-orang yang punya kelebihan sepertiku.” Aku menyeringai, bisa kutebak ia pasti tersenyum dengan gurauanku.
“Yah, kau memang punya kelebihan. Mana ada orang yang bisa melihat dengan ujung-ujung jarinya jika orang itu bukan kau.” Kami tertawa lepas.
Namanya Tasya. Aku tidak akan bisa mendeskripsikan bagaimana rupanya. Yang ku tahu ia orang yang baik. Setidaknya satu banding entahlah, orang yang mau memberi seorang tuna wisma dan tunanetra makanan dan ngobrol panjang lebar. Kukira jarang sekali. Kami sering bertemu disini, di pelataran Rumah Ibadah yang secara tidak langsung menjadi rumahku.
“Boleh kubertanya sesuatu?” aku menelan ludah.
“Ya, tentu.”
“Kenapa kau sering sekali menangis?” gelak tawanya perlahan sirna. Seakan gurauanku barusan tidak pernah kuucapkan.
“Aku.. hmm.. ya biasalah namanya juga wanita yang sering putus nyambung dengan pacarnya. Pasti menangis.”
“Apakah selalu saat sepertiga malam seperti ini kalian bertengkar?” aku tidak bisa bernegosiasi lagi dengan rasa penasaranku.
“I..iya, dia pekerja keras, sering pulang larut malam.Dia juga tipe lelaki yang saat ia marah atau kesal maka saat itu juga harus dikeluarkan segala unek-uneknya. aku lebih sering mengalah dan... menangis.” Tangan kami beradu saat kami sama-sama ingin mengambil potongan kue yang dibawanya.
“Maaf, kau saja duluan yang ambil kuenya, aku kan punya kelebihan, jadi tidak tahu kalau tanganmu ada disana.” Kami tertawa lagi. Pelataran Rumah Ibadah ini menjadi agak berbeda bagiku sejak kemunculannya yang misterius.
+++
Menurut perhitunganku, sudah dua bulan kami saling kenal, entah mengapa pertanyaan-pertanyaan aneh itu muncul begitu saja dalam benakku. Tentang asal-usulnya, apa pekerjaannya, dimana sebenarnya rumahnya. Pertanyaan yang jelas-jelas biasa saja namun menurutku tetap saja aneh. Untuk apa aku ingin sekali tahu akan itu? seakan-akan aku ini orang kebanyakan. Aku ini buta, dan juga tidak punya tempat tinggal, jika penjaga Rumah Ibadah ini ingin mengusirku tentu bisa saja. Aku jadi gelandangan yang beralaskan lantai Ruko-Ruko, saat pagi menjelang pemiliknya tentu membangunkanku seperti membangunkan anjing. Lantas mengapa bisa aku menjadi sepenasaran ini, sebelum ini rasa-rasanya aku tidak pernah.
“Hei, kau pasti belum makan kan? Nih, silahkan dicoba.” Tasya, wanita itu datang lagi, namun kali ini tidak selarut sebelum-sebelumnya. Kurasa hari belum terlalu larut.
“Hmm... aku belum pernah makan yang seperti ini, rasanya seperti mie, tapi entahlah, lebih lembut dan enak.” Alisku beradu, sungguh makanan ini lezat sekali.
“Hahaha, ini namanya pasta, atau spagetti. Sungguh kau belum pernah mencobanya?” aku mengangguk meyakinkannya.
“Kau baik-baik saja kan?” tanyaku setelah menelan suapan terakhir makanan darinya.
“Maksudmu?”
“Ya... apa kau baik-baik saja, kudengar suaramu tidak serak, apa kau dan pacarmu tidak sedang bertengkar?”
“Oh.. ya begitulah, kami sedang baik-baik saja.”
“Tasya, boleh kubertanya? Dan maaf kalau agak pribadi” rasa penasaran ini seperti gatal yang harus cepat-cepat di garuk.
“Hmm tentu boleh, kau kan sudah sering menjadi tempat curhatku.”
“Kau kerja dimana? dan apa jabatanmu disana?” entah mengapa debaran jantungku sampai terasa hingga ke pipi. Mengapa pertanyaan ini menjadi amat menegangkan saat ditanyakan?
“Mengapa kau bertanya begitu?” degh! ini kali pertama ia balas bertanya tanpa menjawab. Justru itu membuatku terdiam, rasa makanan di lidahku sudah tak terasa lagi. menjadi getir begitu saja.
“Oh.. tidak apa-apa, hmm... aku hanya bertanya. Kita teman kan, teman seharusnya saling tahu satu sama lain.” Aku gugup menjawabnya.
“Apa aku pernah bertaya asal-usulmu? Apa aku pernah bertanya kenapa kau ada disini, di Rumah Ibadah ini? Apakah itu penting? Kenapa asal-asulku menjadi seakan penting bagimu? Karena menurutku itu semua tidak penting!” suaranya meninggi, entah apakah ada orang yang melihat percakapan kami atau tidak. Kudengar ia beranjak berdiri, saat kumemanggilnya ia sudah tidak menyahut. Ini di luar  prediksiku. Rasa penasaran ini bukan lagi seperti gatal yang harus digaruk, tapi berubah seperti rasa sesak di dada. Tasya... siapa kau sebenarnya?
+++
Di sepertiga malam aku kembali terbangun seperti biasa. Menghirup udara malam yang dingin menusuk hingga ke dalam tulang. Tanganku meraba lantai, bungkus makanan dari Tasya masih tergeletak, tanganku meraba-raba mencoba merapihkannya dan menaruhnya didekatku. Memegangnya satu persatu untuk memastikan bentuknya. piring stereopom, garpu plastik, dan... entah apa ini, seperti kertas karton berbentuk persegi panjang, apa mungkin KTP? Rasa-rasanya tidak ada orang waras yang menaruh KTP nya di dalam kantong plastik makanan. Ku pisahkan benda itu, semoga ini ada kaitannya dengan Tasya.
+++
Ini harus diselesaikan, setidaknya aku harus membuat rasa penasaranku terpuaskan. Keempat inderaku masih berfungsi baik, seperti tanganku yang bisa merasakan hangat mentari pagi ini. Suara langkah itu amat kukenal, penjaga Rumah Ibadah.
“Pak, permisi, saya mau bertanya sebentar.” Aku segera berdiri dan mengeluarkan benda itu.
“Ini kira-kira apa ya pak?” aku menunjukkan benda itu kepadanya, ia terdiam beberapa saat.
“Oh ini seperti kartu nama mas, dari Hotel D’LLOYD.” Jawabnya ringan.
“Hotel?” seketika pikiranku disesaki oleh satu nama: Tasya, sialnya dia tidak menjawab pertanyaanku semalam, membuat prasangka burukku semakin menjadi-jadi. Setelah berterimakasih kepada penjaga Rumah Ibadah aku bergegas meraih tongkatku dan berjalan menuju hotel tersebut. Jaraknya cukup dekat dari Rumah Ibadah.
+++
“Permisi pak, bisa bertemu dengan orang yang namanya tercantum di kartu nama ini?” tanyaku pada Satpam yang berjaga di depan gerbang Hotel tersebut.
“Wah mas, ini mah pemilik hotel ini. Dia sibuk lah pasti.” Jawabnya ringan, aku bisa menangkap nada tertawanya yang ditahan. Aku terdiam sejenak, mencoba mengolah semuanya. Mengapa kartu nama pemilik perusahaan itu bisa ada di kantok plastik makanan Tasya? Apa mungkin beliau Bos Tasya? Tapi jika benar, mengapa Tasya tidak menyimpan kartu nama itu di dompetnya? harusnya kartu nama itu penting baginya. Sial! Aku benar-benar dibuat pusing. Ketika aku mulai sadar dari lamunanku –yang menyebalkan itu- aku berlalu begitu saja. Membiarkan Satpam mengumpat pelan.
+++
  Sejak salah paham antara kami terjadi, Tasya tidak lagi menemuiku, dia seperti tidak ada dalam lingkungan sekitar tempatku berada. Hilang begitu saja. ini menjadi moment kehilangan terpedih kedua setelah Panti Asuhan tempatku tinggal sebelumnya terbakar, semua hangus, yang tersisa hanya aku yang pada saat itu sedang mengikuti lomba membaca kitab suci. Aku pun kembali menjalani hidupku, bahkan tak lama kemudian aku ditunjuk sebagai penjaga Rumah Ibadah karena Penjaga sebelumnya meninggal dunia. Penglihatanku memang gelap, namun selebihnya terang benderang melebihi dugaanku.
“Hei...” suara itu, aku terperanjat dan langsung bangkit dari tidurku. Pelataran Rumah Ibadah terdengar sepi. Desau angin semilir menyentuh tubuhku. Hari belum gelap.
“Tasya?” lirihku.
“Maaf, kemarin aku meninggalkamu begitu saja.” suaranya pelan, terlalu pelan untuk seseorang yang masih memiliki hutang misteri jati dirinya.
“Kau kemana saja? apa spagetti kemarin seperti sogokan agar aku bisa terima kau tinggal begitu saja?” seluruh ingatan tentang kartu nama, hotel dan pemiliknya, semuanya sudah rampung terekam kembali dalam otakku.
“Oke, akan kujelaskan, aku bekerja di sebuah biro periklanan, jabatanku sekretaris.” Nada suaranya terdengar gugup. Apa dia berbohong? Ah.. andai saja aku bisa melihatnya.
“Sekarang kau bisa menjelaskan ini?” kujulurkan tanganku yang berisi kartu nama.
“Itu... bagaimana kau bisa menemukan kartu nama itu?”
“Dari kantong plastik makananmu, dia?”
“Dia pacarku, dia yang sering kubicarakan padamu.”
“Pacarmu? dulu kau bilang pacarmu itu pekerja keras dan sering pulang malam, mustahil seorang pemilik hotel pulang larut hanya emi pekerjaan, ia pasti bisa menyurh anak buahnya menegrjakan semua tugas-tugasnya. itu pacarmu yang keberapa? Sepuluh? Dua puluh?” akhirnya rasa penasaranku mendapatkan apa yang ia inginkan: jawaban.
“Oke.. fine! Dia bukan pacarku, dia juga bukan siapa-siapa.” Suaranya kini bergetar. Kurasa suara bergetarnya karena amarah yang tertahan cukup lama.
“Lalu siapa kau sebenarnya?” nada suaraku meninggi, juga karena rasa penasaran yang terendap cukup lama.
“Aku... aku adalah penjual kesucian, kau pasti tahu maksudku.” Dia berkata dengan suara pelan, namun sakit hatinya terlalu dalam, hingga untuk marah pun kurasa dia tak bisa, tidak ada hal yang paling menyedihkan dibanding apa yang baru saja dia rasakan, sehingga menangis adalah satu-satunya pilihan yang ada.
“Jadi selama ini?” biarlah pertanyaanku ini menjadi api yang membakar sumbu kemarahannya yang terendap.
“Ya.. tepat sekali! Selama ini kau berteman dengan PELACUR! Semua yang telah kuberikan padamu, makanan-makanan itu, semua haram! Kau benar sekali, PUAS!”
“Bukan itu maksudku, jadi selama ini yang kau ceritakan itu bukan pacarmu, tapi para pelangganmu? Saat kau disiksa dan..”
“Tepat sekali, mereka menamparku, memukul, menjambak, apapun yang bisa memuaskan nafsu binatang mereka.” Ia makin terisak, suaranya sungguh membuat siapapun yang mendengar merasa iba.
“Kau pasti sangat cantik. Bahkan aku tidak perlu menggunakan mata untuk dapat melihat kecantikanmu” Tanganku mencoba meraih lengannya, lalu bergerak pelan ke pundaknya.
            “Tasya, aku tahu kau sangat ingin keluar dari lubang neraka itu, dan aku pun tahu itu butuh waktu dan keberanian. Aku akan selalu ada untukmu. Akan kupastikan itu.” aku tersenyum. Bagiku satu jiwa yang tersadar dari kesesatan harganya sangat mahal sekali dimata Tuhan.
            “Terima kasih, terima kasih untuk segalanya.” Ucapnya lirih. Dan aku tahu ia pasti sedang tersenyum saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar