“Kata orang, dunia itu sangat indah.
Gunung-gunung terlihat elok saat diselimuti awan dan kabut dingin. Laut yang
membentang biru layaknya permadani maha luas. Belum lagi satwa-satwanya,
gedung-gedung tingginya, semuanya. Kau beruntung bisa melihatnya.” Ucapku
sambil tersenyum, entah apakah lawan bicaraku ini sedang mengeluarkan ekspresi
apa di wajahnya.
“Oh
maaf, kukira kau bisa melihat, lantas bagaimana kau bisa melantunkan
kalimat-kalimat di dalam kitab sucimu dengan bagus sekali?” kudengar isak
tangisnya sedikit berkurang.
“Kitab
ini khusus untuk orang-orang yang punya kelebihan sepertiku.” Aku menyeringai,
bisa kutebak ia pasti tersenyum dengan gurauanku.
“Yah,
kau memang punya kelebihan. Mana ada orang yang bisa melihat dengan ujung-ujung
jarinya jika orang itu bukan kau.” Kami tertawa lepas.
Namanya
Tasya. Aku tidak akan bisa mendeskripsikan bagaimana rupanya. Yang ku tahu ia
orang yang baik. Setidaknya satu banding entahlah, orang yang mau memberi
seorang tuna wisma dan tunanetra makanan dan ngobrol panjang lebar. Kukira
jarang sekali. Kami sering bertemu disini, di pelataran Rumah Ibadah yang
secara tidak langsung menjadi rumahku.
“Boleh
kubertanya sesuatu?” aku menelan ludah.
“Ya,
tentu.”
“Kenapa
kau sering sekali menangis?” gelak tawanya perlahan sirna. Seakan gurauanku
barusan tidak pernah kuucapkan.
“Aku..
hmm.. ya biasalah namanya juga wanita yang sering putus nyambung dengan
pacarnya. Pasti menangis.”
“Apakah
selalu saat sepertiga malam seperti ini kalian bertengkar?” aku tidak bisa
bernegosiasi lagi dengan rasa penasaranku.
“I..iya,
dia pekerja keras, sering pulang larut malam.Dia juga tipe lelaki yang saat ia
marah atau kesal maka saat itu juga harus dikeluarkan segala unek-uneknya. aku
lebih sering mengalah dan... menangis.” Tangan kami beradu saat kami sama-sama
ingin mengambil potongan kue yang dibawanya.
“Maaf,
kau saja duluan yang ambil kuenya, aku kan punya kelebihan, jadi tidak tahu
kalau tanganmu ada disana.” Kami tertawa lagi. Pelataran Rumah Ibadah ini menjadi
agak berbeda bagiku sejak kemunculannya yang misterius.
+++
Menurut
perhitunganku, sudah dua bulan kami saling kenal, entah mengapa
pertanyaan-pertanyaan aneh itu muncul begitu saja dalam benakku. Tentang
asal-usulnya, apa pekerjaannya, dimana sebenarnya rumahnya. Pertanyaan yang
jelas-jelas biasa saja namun menurutku tetap saja aneh. Untuk apa aku ingin
sekali tahu akan itu? seakan-akan aku ini orang kebanyakan. Aku ini buta, dan
juga tidak punya tempat tinggal, jika penjaga Rumah Ibadah ini ingin mengusirku
tentu bisa saja. Aku jadi gelandangan yang beralaskan lantai Ruko-Ruko, saat
pagi menjelang pemiliknya tentu membangunkanku seperti membangunkan anjing.
Lantas mengapa bisa aku menjadi sepenasaran ini, sebelum ini rasa-rasanya aku
tidak pernah.
“Hei,
kau pasti belum makan kan? Nih, silahkan dicoba.” Tasya, wanita itu datang
lagi, namun kali ini tidak selarut sebelum-sebelumnya. Kurasa hari belum terlalu
larut.
“Hmm...
aku belum pernah makan yang seperti ini, rasanya seperti mie, tapi entahlah,
lebih lembut dan enak.” Alisku beradu, sungguh makanan ini lezat sekali.
“Hahaha,
ini namanya pasta, atau spagetti. Sungguh kau belum pernah mencobanya?” aku
mengangguk meyakinkannya.
“Kau
baik-baik saja kan?” tanyaku setelah menelan suapan terakhir makanan darinya.
“Maksudmu?”
“Ya...
apa kau baik-baik saja, kudengar suaramu tidak serak, apa kau dan pacarmu tidak
sedang bertengkar?”
“Oh..
ya begitulah, kami sedang baik-baik saja.”
“Tasya,
boleh kubertanya? Dan maaf kalau agak pribadi” rasa penasaran ini seperti gatal
yang harus cepat-cepat di garuk.
“Hmm
tentu boleh, kau kan sudah sering menjadi tempat curhatku.”
“Kau
kerja dimana? dan apa jabatanmu disana?” entah mengapa debaran jantungku sampai
terasa hingga ke pipi. Mengapa pertanyaan ini menjadi amat menegangkan saat
ditanyakan?
“Mengapa
kau bertanya begitu?” degh! ini kali pertama ia balas bertanya tanpa menjawab.
Justru itu membuatku terdiam, rasa makanan di lidahku sudah tak terasa lagi.
menjadi getir begitu saja.
“Oh..
tidak apa-apa, hmm... aku hanya bertanya. Kita teman kan, teman seharusnya
saling tahu satu sama lain.” Aku gugup menjawabnya.
“Apa
aku pernah bertaya asal-usulmu? Apa aku pernah bertanya kenapa kau ada disini,
di Rumah Ibadah ini? Apakah itu penting? Kenapa asal-asulku menjadi seakan penting
bagimu? Karena menurutku itu semua tidak penting!” suaranya meninggi, entah
apakah ada orang yang melihat percakapan kami atau tidak. Kudengar ia beranjak
berdiri, saat kumemanggilnya ia sudah tidak menyahut. Ini di luar prediksiku. Rasa penasaran ini bukan lagi
seperti gatal yang harus digaruk, tapi berubah seperti rasa sesak di dada.
Tasya... siapa kau sebenarnya?
+++
Di
sepertiga malam aku kembali terbangun seperti biasa. Menghirup udara malam yang
dingin menusuk hingga ke dalam tulang. Tanganku meraba lantai, bungkus makanan
dari Tasya masih tergeletak, tanganku meraba-raba mencoba merapihkannya dan
menaruhnya didekatku. Memegangnya satu persatu untuk memastikan bentuknya.
piring stereopom, garpu plastik, dan... entah apa ini, seperti kertas karton
berbentuk persegi panjang, apa mungkin KTP? Rasa-rasanya tidak ada orang waras
yang menaruh KTP nya di dalam kantong plastik makanan. Ku pisahkan benda itu,
semoga ini ada kaitannya dengan Tasya.
+++
Ini
harus diselesaikan, setidaknya aku harus membuat rasa penasaranku terpuaskan.
Keempat inderaku masih berfungsi baik, seperti tanganku yang bisa merasakan
hangat mentari pagi ini. Suara langkah itu amat kukenal, penjaga Rumah Ibadah.
“Pak,
permisi, saya mau bertanya sebentar.” Aku segera berdiri dan mengeluarkan benda
itu.
“Ini
kira-kira apa ya pak?” aku menunjukkan benda itu kepadanya, ia terdiam beberapa
saat.
“Oh
ini seperti kartu nama mas, dari Hotel D’LLOYD.” Jawabnya ringan.
“Hotel?”
seketika pikiranku disesaki oleh satu nama: Tasya, sialnya dia tidak menjawab
pertanyaanku semalam, membuat prasangka burukku semakin menjadi-jadi. Setelah
berterimakasih kepada penjaga Rumah Ibadah aku bergegas meraih tongkatku dan
berjalan menuju hotel tersebut. Jaraknya cukup dekat dari Rumah Ibadah.
+++
“Permisi
pak, bisa bertemu dengan orang yang namanya tercantum di kartu nama ini?”
tanyaku pada Satpam yang berjaga di depan gerbang Hotel tersebut.
“Wah
mas, ini mah pemilik hotel ini. Dia sibuk lah pasti.” Jawabnya ringan, aku bisa
menangkap nada tertawanya yang ditahan. Aku terdiam sejenak, mencoba mengolah
semuanya. Mengapa kartu nama pemilik perusahaan itu bisa ada di kantok plastik
makanan Tasya? Apa mungkin beliau Bos Tasya? Tapi jika benar, mengapa Tasya
tidak menyimpan kartu nama itu di dompetnya? harusnya kartu nama itu penting
baginya. Sial! Aku benar-benar dibuat pusing. Ketika aku mulai sadar dari
lamunanku –yang menyebalkan itu- aku berlalu begitu saja. Membiarkan Satpam
mengumpat pelan.
+++
Sejak
salah paham antara kami terjadi, Tasya tidak lagi menemuiku, dia seperti tidak
ada dalam lingkungan sekitar tempatku berada. Hilang begitu saja. ini menjadi
moment kehilangan terpedih kedua setelah Panti Asuhan tempatku tinggal
sebelumnya terbakar, semua hangus, yang tersisa hanya aku yang pada saat itu
sedang mengikuti lomba membaca kitab suci. Aku pun kembali menjalani hidupku,
bahkan tak lama kemudian aku ditunjuk sebagai penjaga Rumah Ibadah karena
Penjaga sebelumnya meninggal dunia. Penglihatanku memang gelap, namun
selebihnya terang benderang melebihi dugaanku.
“Hei...”
suara itu, aku terperanjat dan langsung bangkit dari tidurku. Pelataran Rumah
Ibadah terdengar sepi. Desau angin semilir menyentuh tubuhku. Hari belum gelap.
“Tasya?”
lirihku.
“Maaf,
kemarin aku meninggalkamu begitu saja.” suaranya pelan, terlalu pelan untuk
seseorang yang masih memiliki hutang misteri jati dirinya.
“Kau
kemana saja? apa spagetti kemarin seperti sogokan agar aku bisa terima kau
tinggal begitu saja?” seluruh ingatan tentang kartu nama, hotel dan pemiliknya,
semuanya sudah rampung terekam kembali dalam otakku.
“Oke,
akan kujelaskan, aku bekerja di sebuah biro periklanan, jabatanku sekretaris.”
Nada suaranya terdengar gugup. Apa dia berbohong? Ah.. andai saja aku bisa
melihatnya.
“Sekarang
kau bisa menjelaskan ini?” kujulurkan tanganku yang berisi kartu nama.
“Itu...
bagaimana kau bisa menemukan kartu nama itu?”
“Dari
kantong plastik makananmu, dia?”
“Dia
pacarku, dia yang sering kubicarakan padamu.”
“Pacarmu?
dulu kau bilang pacarmu itu pekerja keras dan sering pulang malam, mustahil
seorang pemilik hotel pulang larut hanya emi pekerjaan, ia pasti bisa menyurh
anak buahnya menegrjakan semua tugas-tugasnya. itu pacarmu yang keberapa?
Sepuluh? Dua puluh?” akhirnya rasa penasaranku mendapatkan apa yang ia
inginkan: jawaban.
“Oke..
fine! Dia bukan pacarku, dia juga bukan siapa-siapa.” Suaranya kini bergetar.
Kurasa suara bergetarnya karena amarah yang tertahan cukup lama.
“Lalu
siapa kau sebenarnya?” nada suaraku meninggi, juga karena rasa penasaran yang
terendap cukup lama.
“Aku...
aku adalah penjual kesucian, kau pasti tahu maksudku.” Dia berkata dengan suara
pelan, namun sakit hatinya terlalu dalam, hingga untuk marah pun kurasa dia tak
bisa, tidak ada hal yang paling menyedihkan dibanding apa yang baru saja dia
rasakan, sehingga menangis adalah satu-satunya pilihan yang ada.
“Jadi
selama ini?” biarlah pertanyaanku ini menjadi api yang membakar sumbu
kemarahannya yang terendap.
“Ya..
tepat sekali! Selama ini kau berteman dengan PELACUR! Semua yang telah
kuberikan padamu, makanan-makanan itu, semua haram! Kau benar sekali, PUAS!”
“Bukan
itu maksudku, jadi selama ini yang kau ceritakan itu bukan pacarmu, tapi para
pelangganmu? Saat kau disiksa dan..”
“Tepat
sekali, mereka menamparku, memukul, menjambak, apapun yang bisa memuaskan nafsu
binatang mereka.” Ia makin terisak, suaranya sungguh membuat siapapun yang
mendengar merasa iba.
“Kau
pasti sangat cantik. Bahkan aku tidak perlu menggunakan mata untuk dapat
melihat kecantikanmu” Tanganku mencoba meraih lengannya, lalu bergerak pelan ke
pundaknya.
“Tasya, aku tahu kau sangat ingin
keluar dari lubang neraka itu, dan aku pun tahu itu butuh waktu dan keberanian.
Aku akan selalu ada untukmu. Akan kupastikan itu.” aku tersenyum. Bagiku satu
jiwa yang tersadar dari kesesatan harganya sangat mahal sekali dimata Tuhan.
“Terima kasih, terima kasih untuk
segalanya.” Ucapnya lirih. Dan aku tahu ia pasti sedang tersenyum saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar