Pernahkah
kalian merasa asing dirumah sendiri? atau pernahkah kalian merasa diasingkan
secara tidak langsung oleh kerabat dekat kalian sendiri? Jika begitu maka kita
sama. Inilah kehidupanku yang terlihat aneh. Aneh karena aku tidak bisa menjadi
diriku yang sebenarnya dihadapan kerabat dekatku sendiri.
“Papa seneng banget kalo melihat
kakakmu belajar, berkutat dengan rumus, giat mencari jawaban atas soal-soalnya.”
Sambil menyeruput kopi Papa mulai membicarakan topik itu lagi, topik yang sejak
lama sangat kubenci.
“Jadi Papa ngga seneng gitu kalo
melihat aku bergelut dengan tulisan-tulisanku?” nada bicaraku yang hampir
meninggi terpaksa kutahan, setidaknya Papa masih membuka percakapan ini dengan
nada santai.
“Papa seneng, tapi apa kamu ngga
ngerasa kalo apa yang kamu kerjakan itu Cuma buang-buang tenaga aja?” kalimat
jitu itu.. sungguh memancing nada tinggiku.
“Oh.. kalo papa pikir apa yang aku
kerjain ini Cuma buang-buang waktu, yaudah cuekin aja aku. Anggap aja aku ngga
ada dirumah ini, Gampang kan!” kedua tanganku mengepal, kali ini aku tidak akan
beranjak dari tempat dudukku dengan mudah tanpa melawannya.
“Papa Cuma mau yang terbaik buat
kamu, jadi penulis itu ga akan bisa bikin kamu kaya!” Papa menatapku nanar,
mencoba mengatur nafasnya yang tersengal karena sudah bukan waktunya lagi
baginya untuk naik pitam.
“Mengertilah nak, ayahmu sudah tidak
muda lagi.” Suaranya memelan.
“Dan mengertilah Pa, aku punya
keahlianku sendiri, aku ga akan bisa jadi kayak Kak Anton dan begitu juga
sebaliknya.” Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini kami sama-sama lelah,
lelah membicarakan hal yang tak berujung. Papa memutuskan berdiam diri diruang
tamu, aku segera berlari ke kamarku, menutup pintu dan mengusap pipiku yang
basah.
+++
Namaku Zetta, bungsu dari dua bersaudara.
Kakakku bernama Anton, mahasiswa jurusan Management Universitas Negeri di
kotaku. Bukan hal baru jika Papa selalu membanggakannya, entah itu didepan
kolega-koleganya, didepan tetangga, bahkan pernah Papa mengigau sambil
membanggakan putra sulungnya itu. beda umur kami hanya dua tahun, dua tahun
yang kadang terasa amat jauh bila Papa sudah mulai membanding-bandingkan kami.
Aku yang-hanya-mahasiswa bahasa indonesia universitas swasta harus banyak bersabar.
Beruntung aku mengenal Bunda Ria,
bagiku ia adalah sosok pengganti ibu yang amat mengerti diriku. Hubungan kami
dimulai sejak aku bergabung dalam komunitas penulis online beberapa tahun
silam, aku seperti menemukan sosok seorang ibu darinya. Nasihat-nasihatnya,
kisah-kisah teladannya, motivasi-motivasinya tentang kepenulisan selalu
menginspirasiku.
“Bunda..”
sapaku saat suara “hallo”nya menyapaku lebih dulu dari balik gagang telepon
kamarku.
“Kenapa
Ta, suara kamu kaya orang habis nangis gitu?” suaranya begitu meneduhkan bahkan
ketika didengar dari balik gagang telepon.
“Apa salahnya sih jadi penulis? Aku
bener-bener ngga ngerti sama pemikiran Papa, ngga adil banget!”
“Ngga ada yang salah ko Zetta,
kadang orangtua ingin anaknya lebih hebat dari mereka.” Bunda mencoba
menjelaskan sekaligus meredam emosiku yang kembali terpancing.
“Tapi ini kan memang kemampuanku,
coba kalo kusuruh kak Anton bikin cerpen, dia juga ga bisa.”
“Masalahnya ga sesederhana itu
sayang, untuk saat ini kamu tunjukin ke Papa kamu kalo kamu bisa sukses, walau
dari bakat yang Papa kamu anggap remeh. Oh iya, kamu lupa ya? Besok kan acara
penganugerahan pemenang lomba cerpen nasional. Kamu juara tiga kan?” Bunda
mengingatkanku akan undangan itu, undangan yang tadinya ingin kuserahkan kepada
Papa namun urung, Papa terlanjur menghancurkan semuanya.
“Hmm besok bunda aja yang wakilin
orangtua aku, yayaya?” aku kembali bersemangat karena aku tahu Bunda pasti
takkan menolak.
“Iya sayang, bunda pasti wakilin.
Udah dulu ya Zetta, Bunda ada urusan dulu, daah”
telepon
langsung terputus, padahal aku belum sempat interupsi karena masih ingin
ngobrol dengannya.
+++
Pagi itu tepat pukul delapan pagi,
saat mentari pagi masih kaya akan vitamin untuk kesehatan kulit. Seseorang
datang mengetuk pintu rumahku. Seseorang yang hanya dengan mendengar suaranya
saja bisa meredamkan emosiku, ia benar-benar menggantikan posisi mama yang
wafat persis ketika aku berumur tiga tahun.
“Bundaaaa.” Aku langsung memeluknya.
Terakhir kali ia datang kerumahku saat aku terpaksa pulang larut karena
pengumuman lomba cerpen yang ditunda hingga malam hari. Saat Papa membuka pintu
dengan wajahnya yang tegang menahan amarah, Bunda membelaku habis-habisan.
Kejadian itu benar-benar membekas diingatanku.
“Kok pagi banget datangya?” aku
mengajaknya memasuki rumah, lalu mempersilahkannya duduk.
“Hmm pengen bikin kejutan aja.
Selain itu Bunda juga mau ketemu sama papa kamu.” Bunda tersenyum, ia selalu
bisa membuatku ikut tersenyum lewat senyumannya. Walaupun saat banyak masalah
yang datang menghampiriku.
“Ada yang bisa saya bantu mbak Ria?”
Papa tiba-tiba datang, Bunda ikut berdiri menyambutnya, menjabat tangannya lalu
duduk kembali saat Papa mempersilahkannya.
“Tadi saya dengar anda mau bertemu
saya, benar?” Papa kembali bertanya, tentu dengan suara berat khasnya.
“Begini Pak, kali ini Zetta mendapatkan
juara tiga lomba menulis cerpen tingkat nasional. Hari ini acara
penganugerahannya. Saya harap Bapak mau menghadiri acara tersebut,” mataku tak
berkedip, tak bisa berkata apa-apa melihat keberanian Bunda.
“Bukannya selama ini anda yang biasa
mewakili. Anda tahu kan saya..”
“Tidak tertarik, ya.. saya tahu itu,
tapi sampai kapan Bapak seperti ini. Membuat Zetta terus cemburu pada kakaknya
karena perhatian Bapak yang lebih padanya. Zetta juga anak Bapak bukan?
walaupun jelas berbeda dengan Kakaknya namun Zetta punya keahliannya sendiri. Kita
tidak tahu kapan terakhir kali kita bisa menatap wajah anak kita pak, kita
tidak bisa hidup selamanya, bisa saja nanti, esok, atau lusa. Bapak, saya,
Zetta, semua umat manuisa bisa terbujur kaku kapan saja.” Muka Bunda memerah,
aku tidak bisa menerka apa yang ada didalam benaknya. Suasana menjadi hening.
Aku benar-benar tak menyangka Papa bisa secepat ini terhenyang, Diam dengan mata
yang.. berkaca.
“Papa.. Papa hanya tak mau nasibmu
seperti Mamamu.” Suara beratnya kian nyata ditambah dengan memori menyesakkan
itu. memori ketika Mama sedang sibuk meladeni penggemar novelnya yang minta
tanda tangan. Saat itu kami ingin menyebrang jalan menuju Mall, namun para
penggemar itu memaksa, hingga Mama lengah dan..
“Itu semua sudah digariskan Pak,
sudah menjadi kehendak-Nya, kapan dan dimana tepatnya. Jangan hanya karena
memori menyakitkan itu Zetta yang menjadi kambing hitamnya. Itu tidak adil.” Bunda
menghela nafas membiarkan Papa mencerna semua ucapannya.
“Kamu memang benar-benar mirip
dengannya nak. Maafkan Papa, selama ini berlaku tidak adil terhadapmu. Baiklah
Papa akan menghadiri acara itu.” Papa tersenyum, setelah sekian lama yang
kulihat adalah tatapan kosong akan karya-karyaku. Kini Papa tersenyum. Senyum
itu benar-benar menghapus semua rasa sakit hatiku padanya.
“Makasih ya Pa.” Aku buru-buru
memeluk Papa, pelukan ini terasa begitu menenangkan, memusnahkan semua
perdebatan kami, perbedaan pendapat kami, semua lebur terbakar oleh api cinta
seorang Ayah pada anaknya.
“Baiklah saya pamit dulu ya Pak.
Banyak yang harus saya kerjakan.” Bunda kembali tersenyum, setelah berhasil
membuatku dan Papa berbaikan.
“Sebenarnya Bunda juga mau ijin karena
ga bisa ngewakilin kamu, bunda harus nemenin suami Bunda yang lagi sakit.” Aku
memakluminya, lagipula kali ini Papa sendiri yang akan menghadiri acara
penganugerahan itu.
“Bunda, ungkapan terimakasih ini
akan terus kulantunkan, sepanjang hayat berada di dalam jasad ku.” Batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar