Laman

Selasa, 01 Januari 2013

Orang Gila yang Waras


Minggu pagi yang tenang, tepat pukul lima. Saat matahari masih belum menampakkan wujudnya, aku sudah berdiri menatap langit. Tenang sekali, bahkan terlalu tenang untuk hari dimana orang kebanyakan berlibur kerja. Rekreasi entah kemana. Namun aku masih menengadahkan kepala, membiarkan embun yang segar itu membasahi pori-pori wajahku.
Apa itu hidup? Kenapa seseorang bisa hidup? Apakah hidup itu pemberian? Lantas mengapa ada kewajiban di atas pemberian? Lalu mengapa kita harus mati? Mengapa banyak orang bunuh diri, seolah-olah hidupnya adalah miliknya yang bisa ia hentikan kapan saja?
Aku pernah membahas ini dengan beberapa teman dan mereka tak mampu menjawab. Sebagian menganggapku sesat, hei... sejak kapan ada orang yang –hanya- bertanya namun serta merta dicap sesat? Aku hanya bertanya, tidak lebih.
Aku suka bertanya, bukan karena aku cerewet, namun lebih karena terlalu banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Atau seperti yang mereka bilang, Tuhan yang lebih tahu. Menurutku itu seperti benteng pelindung untuk –menghindar- dari pertanyaanku. Aku bukannya tidak percaya adanya Tuhan. Namun yang menjadi masalahku mengapa begitu banyak tanggung jawab yang mesti kita emban padahal kita sendiri tidak meminta untuk hidup. Sekolah, bekerja, berkeluarga. Semua tanggung jawab itu mesti kita jalani dan laksanakan, sebelum kita mati.
Aku tersenyum, sebelum mati kita mesti menjalani kewajiban-kewajiban itu, dan saat mati semua itu bakal di tinggal. Semua kerja keras kita selama –di berikan- hidup harus di tinggal. Saat kita (atau sebut saja aku) tidak menjalankan itu semua, aku di sebut sesat, melenceng, gila, psikopat dan lain-lain. Bagaimana bisa kalian begitu kejam pada orang yang berusaha berfikir lebih dalam tentang hidup?
Pernahkah kalian berdiri di atas gedung lalu melihat ke bawah? Melihat ratusan manusia hilir mudik bagai semut berwarna-warni dengan tujuan masing-masing? Mereka tidak memikirkan apa yang kupikirkan, mereka sibuk dengan tanggung jawab yang harus mereka pikul. Apakah itu semua semu? Tentu tidak menurutku. Itu nyata, senyata aku yang berdiri menyambut matahari yang siap menyebarkan sinar hangatnya.
Lalu apa aku harus bunuh diri? Sejauh ini tidak perlu. Lalu apa aku harus seperti semut berwarna-warni itu?
Jawabannya mungkin: iya. Karena sistem ini sudah berlangsung sejak ratusan juta tahun dan terus berevolusi. Esok lusa mungkin ada kata yang lebih aneh dari tanggung jawab. Setidaknya aku masih ada waktu sehari, sebelum kembali bersama rutinitasku di kantor.
Minggu pagi yang tenang, tepat pukul lima. Saat matahari masih belum menampakkan wujudnya, aku sudah berdiri menatap langit. Tenang sekali, bahkan terlalu tenang untuk hari dimana orang kebanyakan berlibur kerja. Rekreasi entah kemana. Namun aku masih menengadahkan kepala, membiarkan embun yang segar itu membasahi pori-pori wajahku.
Apa itu hidup? Kenapa seseorang bisa hidup? Apakah hidup itu pemberian? Lantas mengapa ada kewajiban di atas pemberian? Lalu mengapa kita harus mati? Mengapa banyak orang bunuh diri, seolah-olah hidupnya adalah miliknya yang bisa ia hentikan kapan saja?
Aku pernah membahas ini dengan beberapa teman dan mereka tak mampu menjawab. Sebagian menganggapku sesat, hei... sejak kapan ada orang yang –hanya- bertanya namun serta merta dicap sesat? Aku hanya bertanya, tidak lebih.
Aku suka bertanya, bukan karena aku cerewet, namun lebih karena terlalu banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Atau seperti yang mereka bilang, Tuhan yang lebih tahu. Menurutku itu seperti benteng pelindung untuk –menghindar- dari pertanyaanku. Aku bukannya tidak percaya adanya Tuhan. Namun yang menjadi masalahku mengapa begitu banyak tanggung jawab yang mesti kita emban padahal kita sendiri tidak meminta untuk hidup. Sekolah, bekerja, berkeluarga. Semua tanggung jawab itu mesti kita jalani dan laksanakan, sebelum kita mati.
Aku tersenyum, sebelum mati kita mesti menjalani kewajiban-kewajiban itu, dan saat mati semua itu bakal di tinggal. Semua kerja keras kita selama –di berikan- hidup harus di tinggal. Saat kita (atau sebut saja aku) tidak menjalankan itu semua, aku di sebut sesat, melenceng, gila, psikopat dan lain-lain. Bagaimana bisa kalian begitu kejam pada orang yang berusaha berfikir lebih dalam tentang hidup?
Pernahkah kalian berdiri di atas gedung lalu melihat ke bawah? Melihat ratusan manusia hilir mudik bagai semut berwarna-warni dengan tujuan masing-masing? Mereka tidak memikirkan apa yang kupikirkan, mereka sibuk dengan tanggung jawab yang harus mereka pikul. Apakah itu semua semu? Tentu tidak menurutku. Itu nyata, senyata aku yang berdiri menyambut matahari yang siap menyebarkan sinar hangatnya.
Lalu apa aku harus bunuh diri? Sejauh ini tidak perlu. Lalu apa aku harus seperti semut berwarna-warni itu?
Jawabannya mungkin: iya. Karena sistem ini sudah berlangsung sejak ratusan juta tahun dan terus berevolusi. Esok lusa mungkin ada kata yang lebih aneh dari tanggung jawab. Setidaknya aku masih ada waktu sehari, sebelum kembali bersama rutinitasku di kantor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar