Minggu
pagi yang tenang, tepat pukul lima. Saat matahari masih belum menampakkan
wujudnya, aku sudah berdiri menatap langit. Tenang sekali, bahkan terlalu
tenang untuk hari dimana orang kebanyakan berlibur kerja. Rekreasi entah
kemana. Namun aku masih menengadahkan kepala, membiarkan embun yang segar itu
membasahi pori-pori wajahku.
Apa
itu hidup? Kenapa seseorang bisa hidup? Apakah hidup itu pemberian? Lantas
mengapa ada kewajiban di atas pemberian? Lalu mengapa kita harus mati? Mengapa
banyak orang bunuh diri, seolah-olah hidupnya adalah miliknya yang bisa ia
hentikan kapan saja?
Aku
pernah membahas ini dengan beberapa teman dan mereka tak mampu menjawab.
Sebagian menganggapku sesat, hei... sejak kapan ada orang yang –hanya- bertanya
namun serta merta dicap sesat? Aku hanya bertanya, tidak lebih.
Aku
suka bertanya, bukan karena aku cerewet, namun lebih karena terlalu banyak
pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Atau seperti yang mereka bilang, Tuhan
yang lebih tahu. Menurutku itu seperti benteng pelindung untuk –menghindar-
dari pertanyaanku. Aku bukannya tidak percaya adanya Tuhan. Namun yang menjadi
masalahku mengapa begitu banyak tanggung jawab yang mesti kita emban padahal
kita sendiri tidak meminta untuk hidup. Sekolah, bekerja, berkeluarga. Semua
tanggung jawab itu mesti kita jalani dan laksanakan, sebelum kita mati.
Aku
tersenyum, sebelum mati kita mesti menjalani kewajiban-kewajiban itu, dan saat
mati semua itu bakal di tinggal. Semua kerja keras kita selama –di berikan-
hidup harus di tinggal. Saat kita (atau sebut saja aku) tidak menjalankan itu
semua, aku di sebut sesat, melenceng, gila, psikopat dan lain-lain. Bagaimana
bisa kalian begitu kejam pada orang yang berusaha berfikir lebih dalam tentang
hidup?
Pernahkah
kalian berdiri di atas gedung lalu melihat ke bawah? Melihat ratusan manusia
hilir mudik bagai semut berwarna-warni dengan tujuan masing-masing? Mereka
tidak memikirkan apa yang kupikirkan, mereka sibuk dengan tanggung jawab yang
harus mereka pikul. Apakah itu semua semu? Tentu tidak menurutku. Itu nyata,
senyata aku yang berdiri menyambut matahari yang siap menyebarkan sinar
hangatnya.
Lalu
apa aku harus bunuh diri? Sejauh ini tidak perlu. Lalu apa aku harus seperti
semut berwarna-warni itu?
Jawabannya
mungkin: iya. Karena sistem ini sudah berlangsung sejak ratusan juta tahun dan
terus berevolusi. Esok lusa mungkin ada kata yang lebih aneh dari tanggung
jawab. Setidaknya aku masih ada waktu sehari, sebelum kembali bersama
rutinitasku di kantor.
Minggu
pagi yang tenang, tepat pukul lima. Saat matahari masih belum menampakkan
wujudnya, aku sudah berdiri menatap langit. Tenang sekali, bahkan terlalu
tenang untuk hari dimana orang kebanyakan berlibur kerja. Rekreasi entah
kemana. Namun aku masih menengadahkan kepala, membiarkan embun yang segar itu
membasahi pori-pori wajahku.
Apa
itu hidup? Kenapa seseorang bisa hidup? Apakah hidup itu pemberian? Lantas
mengapa ada kewajiban di atas pemberian? Lalu mengapa kita harus mati? Mengapa
banyak orang bunuh diri, seolah-olah hidupnya adalah miliknya yang bisa ia
hentikan kapan saja?
Aku
pernah membahas ini dengan beberapa teman dan mereka tak mampu menjawab.
Sebagian menganggapku sesat, hei... sejak kapan ada orang yang –hanya- bertanya
namun serta merta dicap sesat? Aku hanya bertanya, tidak lebih.
Aku
suka bertanya, bukan karena aku cerewet, namun lebih karena terlalu banyak
pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Atau seperti yang mereka bilang, Tuhan
yang lebih tahu. Menurutku itu seperti benteng pelindung untuk –menghindar-
dari pertanyaanku. Aku bukannya tidak percaya adanya Tuhan. Namun yang menjadi
masalahku mengapa begitu banyak tanggung jawab yang mesti kita emban padahal
kita sendiri tidak meminta untuk hidup. Sekolah, bekerja, berkeluarga. Semua
tanggung jawab itu mesti kita jalani dan laksanakan, sebelum kita mati.
Aku
tersenyum, sebelum mati kita mesti menjalani kewajiban-kewajiban itu, dan saat
mati semua itu bakal di tinggal. Semua kerja keras kita selama –di berikan-
hidup harus di tinggal. Saat kita (atau sebut saja aku) tidak menjalankan itu
semua, aku di sebut sesat, melenceng, gila, psikopat dan lain-lain. Bagaimana
bisa kalian begitu kejam pada orang yang berusaha berfikir lebih dalam tentang
hidup?
Pernahkah
kalian berdiri di atas gedung lalu melihat ke bawah? Melihat ratusan manusia
hilir mudik bagai semut berwarna-warni dengan tujuan masing-masing? Mereka
tidak memikirkan apa yang kupikirkan, mereka sibuk dengan tanggung jawab yang
harus mereka pikul. Apakah itu semua semu? Tentu tidak menurutku. Itu nyata,
senyata aku yang berdiri menyambut matahari yang siap menyebarkan sinar
hangatnya.
Lalu
apa aku harus bunuh diri? Sejauh ini tidak perlu. Lalu apa aku harus seperti
semut berwarna-warni itu?
Jawabannya
mungkin: iya. Karena sistem ini sudah berlangsung sejak ratusan juta tahun dan
terus berevolusi. Esok lusa mungkin ada kata yang lebih aneh dari tanggung
jawab. Setidaknya aku masih ada waktu sehari, sebelum kembali bersama
rutinitasku di kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar