Laman

Selasa, 01 Januari 2013

permintaanmu pasti terwujud


Permintaanmu pasti terwujud.
Persahabatan adalah akar dari semua hubungan yang menyenangkan, semua hilir yang indah selalu berhulu darinya. Sepasang kekasih yang membalut hubungan mereka dengan persahabatan pasti akan indah terlihat, dan nikmat bagi yang menjalaninya. Seseorang yang bersahabat dengan alam, maka dia akan menyatu dengan alam, tidak akan dibiarkan dirinya kelaparan. Karena alampun bersahabat dengannya.
            Selalu ada kisah menarik di tiap inchi kehidupan di dunia, inilah kisah tentang Fajar dan Aulia. Sahabat karib sejak kecil. Tinggal berdekatan dan selalu satu sekolah sejak SD hingga SMA.
            “Lia.. tungguin gue dong, buru-buru banget sih. Malem juga masih lama kali selesainya.” Fajar berlari kecil menyusul Aulia ke atas bukit. Hari ini adalah hari terakhir perjalanan studi ilmiah mereka tentang perbintangan.
            “Cepetan dong, purnamanya lagi bagus banget nih.” Aulia membalas dengan senyum cemerlang demi melihat keindahan purnama di atas bukit tersebut.
            “Seindah-indahnya bulan tetep aja bulan, geradakan.” Fajar menghela nafas setelah bersanding bersama Aulia yang kini mencibir karena celotehan Fajar.
            “Ah.. elo mah, percuma muji-muji bulan sama lo. Tetep aja yang lo bilang bagus itu bintang.”  Aulia mencubit lengan Fajar, masih dengan wajah yang mencibir kesal.
            “Ya jelas lah masih bagusan bintang ketimbang bulan, nih yah, bintang itu punya cahaya sendiri, engga mantulin cahaya macam bulan, terus bintang itu buanyak banget jumlahnya, dan.. plis deh Lia, gue belum pernah denger tuh ada ilmu perbulanan, kalo perbintangan tuh baru ada.” Fajar tertawa lepas, puas setelah mengalahkan Aulia dengan argumen-argumennya.
            “Ah tetep aja bintang kecil-kecil, bulan gede.” Aulia menjulurkan lidahnya, lalu kembali menatap rembulan.
            “Lia.. lihat tuh, ada bintang jatuh. Make a wish yuk!” ujar Fajar sambil menunjuk gugusan bintang yang membentang mewarnai langit.
            “Hmm emang ngefek apa?” ucap Aulia yang setengah urung mengamini permintaan Fajar.
            “Ah.. ga penting bener apa ngga nya, anggep aja ini dua permintaan dari dua orang yang mencintai langit. Setuju?” tandas Fajar meyakinkan Aulia yang masih ragu, namun kini mulai terlihat samar sunggingan senyum di pipinya.
            “1..2..3..” mereka memejamkan sepasang mata mereka. Megucapkan dua permintaan yang langsung menuju langit tanpa terhalang apapun. Permintaan yang akan membuat perjalanan hidup mereka lengkap.
+++
            Setelah pulang dari kegiatan studi tentang perbintangan seminggu yang lalu, Aulia dibuat penasaran dengan apa yang menjadi permintaan Fajar, walaupun ia juga enggan menyebutkan apa permintaannya.
            “Jar, beneran deh, nanti abis lo ngasih tau apa permintaan lo waktu di bukit kemarin, gue bakal kasih tau apa permintaan gue.” Aulia masih merayu Fajar yang bungkam seribu bahasa tentang permintaan itu.
            “Hmm waktu itu aja ogah-ogahan make a wish nya, sekarang malah lo yang penasaran.” Fajar sekali lagi menang melawan Aulia urusan perang argumen ini.
            “Aah.. lo mah gitu, tau ah bodo amat!” Aulia kembali mencibir, lupa dengan bakso yang dari tadi dipesannya malah belum dimakan sama sekali. Kantin sekolah mulai sepi karena jam istirahat sebentar lagi akan habis.
            “Eh.. olimpiade astronomi kan sebentar lagi, utusan dari sekolah juga Cuma kita berdua, baikan dong.. biar hadiahnya tetep kita bagi dua, hehehe.” Fajar kembali menyeruput es tehnya yang tinggal setengah gelas.
            “Hmm.. iya deh.” Aulia mulai membelah dua baksonya.
            “Nah gitu dong, ngambek ga boleh lama-lama.” Bel masuk baru saja berbunyi tepat saat kalimat Fajar terucap, mengakhiri percakapan mereka.
+++
            Walau lomba itu masih tiga minggu lagi, namun persiapan yang dilakukan Aulia dan Fajar semakin hari semakin banyak. Mereka harus mengurus surat perijinan ke administrasi sekolah, teknikal meeting bersama perwakilan sekolah-sekolah lain di tempat acara, dan tentunya mempertajam pengetahuan mereka lewat membaca, menjawab soal serta saling mengingatkan satu sama lain lewat tanya jawab bergantian. Disela-sela waktu mereka, Fajar selalu menjadi pendengar yang baik dan penasehat paling bijak untuk masalah-masalah yang dihadapi Aulia, sedang Aulia menjadi pengingat yang tepat waktu saat Fajar lupa akan sesuatu. Persahabatan yang sangat indah jika divisualisasikan.
            “Jar, kalo nanti kita sama-sama punya anak, kita jodohin mereka aja yuk, yah.. itung itung melestarikan bakat astronomi kita, mau ga?” Bajaj yang ditumpangi Fajar dan Aulia bergerak bising mengitari ruas ibukota, mereka baru saja selesai teknikal meeting terakhir dari rentetan jadwal pra-acara yang ada.
            “Hmm boleh juga tuh, kalo perlu kita tinggal di komplek yang sama aja, ah tapi masih jauh kali Lia, kita aja masih SMA.” Fajar melirik ke jalan, memicingkan matanya yang silau terkena sinar matahari yang ganas menyengat.
            “Iya sih masih jauh, namanya juga ngayal, lo mah ngerusak mood orang aja deh!”
            “Iya iya ampun deh nih anak bawel banget ye, panas nih! Mana suara nih bajaj berisik banget lagi.” Fajar menggerutu, mengusap keningnya yang bercucuran keringat.
            “Kalo ga mau berisik naek taksi aja mas.” Seru supir bajaj dengan logat jawanya yang kental.
            “Emang enak diomelin.” Aulia menggerakkan mulutnya tanpa suara sambil menjulurkan lidah. Kini dia yang merasa menang dari Fajar dalam urusan adu argumen, walaupun dengan bantuan supir bajaj, Fajar mati gaya.
            “Bang kiri bang.” Seru Fajar saat kendaraan merah cerah itu menyusuri daerah kemayoran, tempat tinggal Mereka.
+++
Malam baru saja tiba, tapat pukul tujuh, suara telepon rumah Aulia berdering beberapa kali.
“Lia..! Fajar kecelakan Lia.” Suara panik menghambur dari balik gagang telepon rumahnya, suara itu milik ibunya Fajar. Sejenak Lia diam di tempat ia berdiri, bingung. Entah apa yang harus ia lakukan. Selama ini sahabat karibnya itu begitu jauh dari kata sial, bagaimana bisa ia mempercayai bahwa kali ini benar-benar bukan hanya kesialan yang menimpanya, tapi kecelakaan. Fajar memang pelupa, namun apakah mungkin kebiasaan itu yang menjadi pangkal kecelakaannya? Aulia semakin memenuhi pikirannya dengan pertanyaan. Tanpa sadar kakinya melangkah cepat menuju Rumah Sakit tempat Fajar dirawat.
Bersama kedua orangtuanya Aulia menyusuri lorong rumah sakit dengan hati kalut, bagaimana mungkin kesialan ini terjadi tidak pada tempatnya, ketika besok seharusnya adalah hari menegangkan bagi mereka dikursi panas Olimpiade Astronomi, seharusnya malam ini adalah hari tenang bagi mereka menenangkan otak mereka yang akan dikuras esok hari. “ini ngga adil, ini ngga adil!” Gumam Aulia yang kini matanya memerah menahan air yang sedetik lagi tumpah.
“Bagaimana keadaan anak saya Dok?” tanya Ayah Fajar dengan wajah pias oleh rasa cemas yang menggantung.
“Karena mungkin anak bapak jatuh tepat kepalanya terlebih dahulu, mengakibatkan pendarahan yang cukup serius. Kami belum bisa memastikan keadaannya, malah kami harap bapak dan ibu bersiap hati menerima kabar-kabar lainnya kedepan. Sekali lagi maaf, selamat malam.” Dokter berkata dengan intonasi yang tenang dan oktaf yang rendah, mencoba memahami apa yang dialami oleh keluarga pasien. Dokter itu berlalu perlahan.
Aulia beserta kedua orangtuanya dan orangtua fajar hanya bisa melihat Fajar dari balik kaca ruang ICU, pemandangan ini sungguh tidak diharapkan.
+++
Mentari pagi kembali menyambut dunia, tak peduli apapun masalah yang ada di dalamnya. Pagi hari ini untuk pertama kalinya Aulia bangun dengan hati yang kalut sisa kesedihannya semalam. Setelah bersiap dengan peralatannya Aulia bergegas ke Rumah Sakit, menyempatkan diri menemui Fajar yang saat ini mungkin masih kritis.
“Ngga apa apa ko de, kalo Cuma sebentar mah.” Ucap perawat menjawab pertanyaan Aulia tentang boleh tidaknya berkomunikasi dengan Fajar yang kini sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang perawatan biasa.
“Fajar.. bangun jar, udah pagi.” Lirih Aulia mencoba membuat mata Fajar terbuka.
“Hmm.. eh Aulia, duh padahal hari ini Olimpiade ya? Maaf ya.” Fajar membuka suara, perlahan.
“Iya, lo pake acara kecelakaan segala sih, haha.” Balas Aulia dengan suara sumbang, mencoba menyamarkan isak tangisnya yang juga ingin keluar.
“Aulia.. lo pasti bisa, dengan atau tanpa gue.”
“Gue ngga pede Jar, gimana kalo ada soal yang lo hafal jawabannya tapi gue ga hafal?”
“Yang gue hafalin itu materinya juga sama kok kayak yang lo hafalin. Kan kita sering tanya jawab berdua.” Fajar tersenyum. Entah mengapa kali ini senyumannya begitu indah dalam pandangan Aulia.
            “Yaudah gue berangkat dulu ya, cepet sembuh dong.” Fajar hanya membalas ucapan Aulia dengan anggukan pelan, tersenyum melihat sahabatnya menjauh perlahan dari hadapannya.
+++
            Gedung megah tempat pelaksanaan olimpiade riuh oleh teriakan pendukung masing-masing perwakilan sekolah, dukungan yang meriah juga diterima Aulia dari teman-teman serta guru pendampingnya yang duduk dibangku penonton. Pihak penyelenggara Olimpiade memberikan dispensasi terhadap Aulia, walaupun tanpa partner dia tetap bisa mengikuti kejuaraan. Seiring waktu berjalan pertanyaan-pertanyaan mulai silih berganti dikeluarkan. Kening Aulia mengkerut ketika pertanyaan mulai meningkat kesulitannya dan ia kebobolan beberapa poin. Namun ia tetap bisa menyusul ketertinggalan setelah ingatan tentang tanya jawab bersama Fajar kembali terkuak di memori otaknya. Kini ia memimpin dengan poin tertinggi hingga tahap akhir kejuaraan tersebut.
            “Hadirin sekalian tibalah kita dipenghujung acara. Dengan selisih poin yang sangat tipis, saling susul menyusul. Kini tibalah saatnya untuk pengumuman siapa yang berhak mendapatkan juara. Langsung saja kita sambut meriah Juara pertama, Aulia Septiara.” Suara pembawa acara ibarat api yang membuat sumbu teriakan penonton meledak meramaikan Gedung pelaksanaan acara tersebut. Dengan anggun Aulia berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan menuju panggung. Menerima piala dan berbagai hadiah lainnya. Hadiah yang seharusnya ia pegang bersama dengan Fajar.
+++
            “Jar.. Fajar.. gue menang Jar.” Dengan penuh semangat Aulia memberitahukan kabar baik itu pada sahabatnya yang masih terbaring di kasur rumah sakit. Kepalanya masih dibalut perban, masih ada sedikit bercak darah disana.
“Wah.. selamat yah, gue yakin pasti lo bisa.” Fajar tersenyum, wajah pucatnya terlihat lebih menenangkan sekarang. Suara alat pendeteksi denyut jantung disisi Fajar terus berbunyi, anehnya bunyi itu justru menandakan denyut jantungnya yang berdetak pelan, cenderung pelan sekali.
“Jar.. lo sebentar lagi sembuh kan?” Aulia kembali mempertanyaan hal itu, hal yang kini menjadi pertanyaan tanpa jawaban.
“Hei.. lo mau tau ga apa permintaan gue waktu dibukit kemarin?” Fajar berkata lirih mencoba mengalihkan topik dan mengalihkan perhatian Aulia dari alat pendeteksi denyut jantung itu.
“Hmm, apa permintaan lo?” setelah hening sejenak, bibir Aulia bergetar balik bertanya.
“Tapi gue mau tau dulu permintaan lo apa, nanti baru gue kasih tau permintaan gue.” Fajar menggerakkan tangannya yang tertancap selang infus, menghapus pipi Aulia yang basah dengan airmata.
“Hmm permintaan gue waktu itu.. gue minta biar gue menang lomba olimpiade.” Hidungnya basah, hingga mengeluarkan bunyi khas saat ia menghela nafas.
“Permintaan gue waktu itu.. gue minta supaya apapun permintaan lo dikabulkan.” Fajar kini benar-benar tersenyum dengan indah. Senyuman yang selama sepuluh tahun terakhir belum pernah ditampakkannya pada Aulia.
“Fajar, lo.. lo baik banget yah.” Aulia pun sempurna menangis tersedu mendengar pengakuan Fajar, sungguh bukan pengakuan tentang cinta, sungguh bukan pengakuan yang biasa. Ini adalah pengakuan tulus dari seorang sahabat yang begitu peduli dengannya.
“Nah.. sekarang gue pengen tidur, capek banget badan gue. Gue tidur dulu ya Lia.” Mata Fajar terpejam, sedetik kemudian alat pendeteksi denyut jantung di sisi Fajar berbunyi panjang, tanda sudah tidak ada denyut lagi di jantung sahabatnya. Aulia gemetar memeluk tubuh Fajar yang kini tidak bisa balas memeluknya. Pelukan pertama sekaligus yang terakhir sepanjang perjalanan persahabatannya. Sungguh.. Fajar tidak benar-benar meninggalkan Aulia, dia baru saja hidup didalam hati Aulia, sejengkal lebih dekat dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar