Permintaanmu
pasti terwujud.
Persahabatan
adalah akar dari semua hubungan yang menyenangkan, semua hilir yang indah
selalu berhulu darinya. Sepasang kekasih yang membalut hubungan mereka dengan
persahabatan pasti akan indah terlihat, dan nikmat bagi yang menjalaninya.
Seseorang yang bersahabat dengan alam, maka dia akan menyatu dengan alam, tidak
akan dibiarkan dirinya kelaparan. Karena alampun bersahabat dengannya.
Selalu ada kisah menarik di tiap
inchi kehidupan di dunia, inilah kisah tentang Fajar dan Aulia. Sahabat karib
sejak kecil. Tinggal berdekatan dan selalu satu sekolah sejak SD hingga SMA.
“Lia.. tungguin gue dong, buru-buru
banget sih. Malem juga masih lama kali selesainya.” Fajar berlari kecil
menyusul Aulia ke atas bukit. Hari ini adalah hari terakhir perjalanan studi
ilmiah mereka tentang perbintangan.
“Cepetan dong, purnamanya lagi bagus
banget nih.” Aulia membalas dengan senyum cemerlang demi melihat keindahan
purnama di atas bukit tersebut.
“Seindah-indahnya bulan tetep aja
bulan, geradakan.” Fajar menghela nafas setelah bersanding bersama Aulia yang
kini mencibir karena celotehan Fajar.
“Ah.. elo mah, percuma muji-muji
bulan sama lo. Tetep aja yang lo bilang bagus itu bintang.” Aulia mencubit lengan Fajar, masih dengan
wajah yang mencibir kesal.
“Ya jelas lah masih bagusan bintang
ketimbang bulan, nih yah, bintang itu punya cahaya sendiri, engga mantulin
cahaya macam bulan, terus bintang itu buanyak banget jumlahnya, dan.. plis deh
Lia, gue belum pernah denger tuh ada ilmu perbulanan, kalo perbintangan tuh
baru ada.” Fajar tertawa lepas, puas setelah mengalahkan Aulia dengan
argumen-argumennya.
“Ah tetep aja bintang kecil-kecil,
bulan gede.” Aulia menjulurkan lidahnya, lalu kembali menatap rembulan.
“Lia.. lihat tuh, ada bintang jatuh.
Make a wish yuk!” ujar Fajar sambil
menunjuk gugusan bintang yang membentang mewarnai langit.
“Hmm emang ngefek apa?” ucap Aulia
yang setengah urung mengamini permintaan Fajar.
“Ah.. ga penting bener apa ngga nya,
anggep aja ini dua permintaan dari dua orang yang mencintai langit. Setuju?”
tandas Fajar meyakinkan Aulia yang masih ragu, namun kini mulai terlihat samar
sunggingan senyum di pipinya.
“1..2..3..” mereka memejamkan
sepasang mata mereka. Megucapkan dua permintaan yang langsung menuju langit
tanpa terhalang apapun. Permintaan yang akan membuat perjalanan hidup mereka
lengkap.
+++
Setelah pulang dari kegiatan studi
tentang perbintangan seminggu yang lalu, Aulia dibuat penasaran dengan apa yang
menjadi permintaan Fajar, walaupun ia juga enggan menyebutkan apa permintaannya.
“Jar, beneran deh, nanti abis lo
ngasih tau apa permintaan lo waktu di bukit kemarin, gue bakal kasih tau apa
permintaan gue.” Aulia masih merayu Fajar yang bungkam seribu bahasa tentang
permintaan itu.
“Hmm waktu itu aja ogah-ogahan make a wish nya, sekarang malah lo yang
penasaran.” Fajar sekali lagi menang melawan Aulia urusan perang argumen ini.
“Aah.. lo mah gitu, tau ah bodo
amat!” Aulia kembali mencibir, lupa dengan bakso yang dari tadi dipesannya
malah belum dimakan sama sekali. Kantin sekolah mulai sepi karena jam istirahat
sebentar lagi akan habis.
“Eh.. olimpiade astronomi kan
sebentar lagi, utusan dari sekolah juga Cuma kita berdua, baikan dong.. biar
hadiahnya tetep kita bagi dua, hehehe.” Fajar kembali menyeruput es tehnya yang
tinggal setengah gelas.
“Hmm.. iya deh.” Aulia mulai
membelah dua baksonya.
“Nah gitu dong, ngambek ga boleh
lama-lama.” Bel masuk baru saja berbunyi tepat saat kalimat Fajar terucap,
mengakhiri percakapan mereka.
+++
Walau lomba itu masih tiga minggu
lagi, namun persiapan yang dilakukan Aulia dan Fajar semakin hari semakin
banyak. Mereka harus mengurus surat perijinan ke administrasi sekolah, teknikal
meeting bersama perwakilan sekolah-sekolah lain di tempat acara, dan tentunya
mempertajam pengetahuan mereka lewat membaca, menjawab soal serta saling
mengingatkan satu sama lain lewat tanya jawab bergantian. Disela-sela waktu
mereka, Fajar selalu menjadi pendengar yang baik dan penasehat paling bijak
untuk masalah-masalah yang dihadapi Aulia, sedang Aulia menjadi pengingat yang
tepat waktu saat Fajar lupa akan sesuatu. Persahabatan yang sangat indah jika
divisualisasikan.
“Jar, kalo nanti kita sama-sama
punya anak, kita jodohin mereka aja yuk, yah.. itung itung melestarikan bakat
astronomi kita, mau ga?” Bajaj yang ditumpangi Fajar dan Aulia bergerak bising
mengitari ruas ibukota, mereka baru saja selesai teknikal meeting terakhir dari
rentetan jadwal pra-acara yang ada.
“Hmm boleh juga tuh, kalo perlu kita
tinggal di komplek yang sama aja, ah tapi masih jauh kali Lia, kita aja masih
SMA.” Fajar melirik ke jalan, memicingkan matanya yang silau terkena sinar
matahari yang ganas menyengat.
“Iya sih masih jauh, namanya juga
ngayal, lo mah ngerusak mood orang aja deh!”
“Iya iya ampun deh nih anak bawel
banget ye, panas nih! Mana suara nih bajaj berisik banget lagi.” Fajar
menggerutu, mengusap keningnya yang bercucuran keringat.
“Kalo ga mau berisik naek taksi aja
mas.” Seru supir bajaj dengan logat jawanya yang kental.
“Emang enak diomelin.” Aulia
menggerakkan mulutnya tanpa suara sambil menjulurkan lidah. Kini dia yang
merasa menang dari Fajar dalam urusan adu argumen, walaupun dengan bantuan
supir bajaj, Fajar mati gaya.
“Bang kiri bang.” Seru Fajar saat
kendaraan merah cerah itu menyusuri daerah kemayoran, tempat tinggal Mereka.
+++
Malam
baru saja tiba, tapat pukul tujuh, suara telepon rumah Aulia berdering beberapa
kali.
“Lia..!
Fajar kecelakan Lia.” Suara panik menghambur dari balik gagang telepon
rumahnya, suara itu milik ibunya Fajar. Sejenak Lia diam di tempat ia berdiri,
bingung. Entah apa yang harus ia lakukan. Selama ini sahabat karibnya itu begitu
jauh dari kata sial, bagaimana bisa ia mempercayai bahwa kali ini benar-benar
bukan hanya kesialan yang menimpanya, tapi kecelakaan. Fajar memang pelupa,
namun apakah mungkin kebiasaan itu yang menjadi pangkal kecelakaannya? Aulia
semakin memenuhi pikirannya dengan pertanyaan. Tanpa sadar kakinya melangkah
cepat menuju Rumah Sakit tempat Fajar dirawat.
Bersama
kedua orangtuanya Aulia menyusuri lorong rumah sakit dengan hati kalut,
bagaimana mungkin kesialan ini terjadi tidak pada tempatnya, ketika besok seharusnya
adalah hari menegangkan bagi mereka dikursi panas Olimpiade Astronomi,
seharusnya malam ini adalah hari tenang bagi mereka menenangkan otak mereka
yang akan dikuras esok hari. “ini ngga adil, ini ngga adil!” Gumam Aulia yang
kini matanya memerah menahan air yang sedetik lagi tumpah.
“Bagaimana
keadaan anak saya Dok?” tanya Ayah Fajar dengan wajah pias oleh rasa cemas yang
menggantung.
“Karena
mungkin anak bapak jatuh tepat kepalanya terlebih dahulu, mengakibatkan
pendarahan yang cukup serius. Kami belum bisa memastikan keadaannya, malah kami
harap bapak dan ibu bersiap hati menerima kabar-kabar lainnya kedepan. Sekali
lagi maaf, selamat malam.” Dokter berkata dengan intonasi yang tenang dan oktaf
yang rendah, mencoba memahami apa yang dialami oleh keluarga pasien. Dokter itu
berlalu perlahan.
Aulia
beserta kedua orangtuanya dan orangtua fajar hanya bisa melihat Fajar dari
balik kaca ruang ICU, pemandangan ini sungguh tidak diharapkan.
+++
Mentari
pagi kembali menyambut dunia, tak peduli apapun masalah yang ada di dalamnya.
Pagi hari ini untuk pertama kalinya Aulia bangun dengan hati yang kalut sisa
kesedihannya semalam. Setelah bersiap dengan peralatannya Aulia bergegas ke
Rumah Sakit, menyempatkan diri menemui Fajar yang saat ini mungkin masih kritis.
“Ngga
apa apa ko de, kalo Cuma sebentar mah.” Ucap perawat menjawab pertanyaan Aulia
tentang boleh tidaknya berkomunikasi dengan Fajar yang kini sudah dipindahkan
dari ruang ICU ke ruang perawatan biasa.
“Fajar..
bangun jar, udah pagi.” Lirih Aulia mencoba membuat mata Fajar terbuka.
“Hmm..
eh Aulia, duh padahal hari ini Olimpiade ya? Maaf ya.” Fajar membuka suara,
perlahan.
“Iya,
lo pake acara kecelakaan segala sih, haha.” Balas Aulia dengan suara sumbang,
mencoba menyamarkan isak tangisnya yang juga ingin keluar.
“Aulia..
lo pasti bisa, dengan atau tanpa gue.”
“Gue
ngga pede Jar, gimana kalo ada soal yang lo hafal jawabannya tapi gue ga
hafal?”
“Yang
gue hafalin itu materinya juga sama kok kayak yang lo hafalin. Kan kita sering
tanya jawab berdua.” Fajar tersenyum. Entah mengapa kali ini senyumannya begitu
indah dalam pandangan Aulia.
“Yaudah gue berangkat dulu ya, cepet
sembuh dong.” Fajar hanya membalas ucapan Aulia dengan anggukan pelan,
tersenyum melihat sahabatnya menjauh perlahan dari hadapannya.
+++
Gedung megah tempat pelaksanaan
olimpiade riuh oleh teriakan pendukung masing-masing perwakilan sekolah,
dukungan yang meriah juga diterima Aulia dari teman-teman serta guru
pendampingnya yang duduk dibangku penonton. Pihak penyelenggara Olimpiade
memberikan dispensasi terhadap Aulia, walaupun tanpa partner dia tetap bisa
mengikuti kejuaraan. Seiring waktu berjalan pertanyaan-pertanyaan mulai silih
berganti dikeluarkan. Kening Aulia mengkerut ketika pertanyaan mulai meningkat
kesulitannya dan ia kebobolan beberapa poin. Namun ia tetap bisa menyusul
ketertinggalan setelah ingatan tentang tanya jawab bersama Fajar kembali
terkuak di memori otaknya. Kini ia memimpin dengan poin tertinggi hingga tahap
akhir kejuaraan tersebut.
“Hadirin sekalian tibalah kita
dipenghujung acara. Dengan selisih poin yang sangat tipis, saling susul
menyusul. Kini tibalah saatnya untuk pengumuman siapa yang berhak mendapatkan
juara. Langsung saja kita sambut meriah Juara pertama, Aulia Septiara.” Suara
pembawa acara ibarat api yang membuat sumbu teriakan penonton meledak
meramaikan Gedung pelaksanaan acara tersebut. Dengan anggun Aulia berdiri dari
tempat duduknya lalu berjalan menuju panggung. Menerima piala dan berbagai
hadiah lainnya. Hadiah yang seharusnya ia pegang bersama dengan Fajar.
+++
“Jar.. Fajar.. gue menang Jar.”
Dengan penuh semangat Aulia memberitahukan kabar baik itu pada sahabatnya yang
masih terbaring di kasur rumah sakit. Kepalanya masih dibalut perban, masih ada
sedikit bercak darah disana.
“Wah..
selamat yah, gue yakin pasti lo bisa.” Fajar tersenyum, wajah pucatnya terlihat
lebih menenangkan sekarang. Suara alat pendeteksi denyut jantung disisi Fajar
terus berbunyi, anehnya bunyi itu justru menandakan denyut jantungnya yang
berdetak pelan, cenderung pelan sekali.
“Jar..
lo sebentar lagi sembuh kan?” Aulia kembali mempertanyaan hal itu, hal yang
kini menjadi pertanyaan tanpa jawaban.
“Hei..
lo mau tau ga apa permintaan gue waktu dibukit kemarin?” Fajar berkata lirih
mencoba mengalihkan topik dan mengalihkan perhatian Aulia dari alat pendeteksi
denyut jantung itu.
“Hmm,
apa permintaan lo?” setelah hening sejenak, bibir Aulia bergetar balik
bertanya.
“Tapi
gue mau tau dulu permintaan lo apa, nanti baru gue kasih tau permintaan gue.”
Fajar menggerakkan tangannya yang tertancap selang infus, menghapus pipi Aulia
yang basah dengan airmata.
“Hmm
permintaan gue waktu itu.. gue minta biar gue menang lomba olimpiade.” Hidungnya
basah, hingga mengeluarkan bunyi khas saat ia menghela nafas.
“Permintaan
gue waktu itu.. gue minta supaya apapun permintaan lo dikabulkan.” Fajar kini
benar-benar tersenyum dengan indah. Senyuman yang selama sepuluh tahun terakhir
belum pernah ditampakkannya pada Aulia.
“Fajar,
lo.. lo baik banget yah.” Aulia pun sempurna menangis tersedu mendengar
pengakuan Fajar, sungguh bukan pengakuan tentang cinta, sungguh bukan pengakuan
yang biasa. Ini adalah pengakuan tulus dari seorang sahabat yang begitu peduli
dengannya.
“Nah.. sekarang gue
pengen tidur, capek banget badan gue. Gue tidur dulu ya Lia.” Mata Fajar
terpejam, sedetik kemudian alat pendeteksi denyut jantung di sisi Fajar
berbunyi panjang, tanda sudah tidak ada denyut lagi di jantung sahabatnya.
Aulia gemetar memeluk tubuh Fajar yang kini tidak bisa balas memeluknya.
Pelukan pertama sekaligus yang terakhir sepanjang perjalanan persahabatannya.
Sungguh.. Fajar tidak benar-benar meninggalkan Aulia, dia baru saja hidup
didalam hati Aulia, sejengkal lebih dekat dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar