Dalam
suatu hubungan, pastilah dibutuhkan keseriusan yang mendalam serta kematangan
dari masing-masing pasangan, saling pengertian, saling paham, tidak egois, mau
saling berkorban dan segala macam “syarat” tak nampaknya. Namun dari sekian
banyak syarat tak nampak itu, ada satu hal yang menjadi momok, satu hal yang
bisa merusak namun juga bisa membangun, bahkan memperindah hubungan antar dua
insan: restu. Yah.. inilah hal yang membuat hidup seseorang bernama Adit
berubah seratus delapan puluh derajat berbeda. Pria berumur dua puluh lima
tahun yang sedang duduk di dalam bus kota jurusan kampung melayu-senen ini
hanya bisa tercenung, terkadang tersenyum sendiri mengenang nasibnya dua tahun
yang lalu.
“Dit,
kenapa si lo ngga mau kalo gue ajak ke rumah gue?” wanita berambut ikal sebahu
ditingkahi kuncir kuda yang membungkus rambutnya tiba-tiba menanyakan hal yang
belum pernah mereka singgung-singgung sebelumnya.
“Eh?
Tumben banget lo ngomongin beginian?” Adit malah balik bertanya setelah
tersedak karena pertanyaan Ariny.
“Yah..
lucu aja gitu, pacaran udah mau dua tahun tapi lo ngga pernah kerumah gue.”
Mereka sama-sama terdiam, tak peduli keramaian yang ada disekeliling mereka,
keramaian sebuah cafe yang menjadi saksi segalanya, saksi saat pertama kali
mereka bertemu. Menghabiskan waktu bersama dan hingga saksi pengikraran janji
cinta mereka. Hubungan mereka sangat unik, karena tak seperti pasangan lainnya
yang harus cemburu pada cowoknya yang lebih mementingkan urusan bola daripada
jalan bareng pacarnya, mereka justru membahas tentang sepakbola bersama, karena
sepak bola lah yang mempertemukan mereka. Juga tentang pasangan-pasangan yang
khawatir pacarnya pergi jauh-jauh naik gunung karena kegiatan pecinta alam,
mereka justru naik gunung bersama, tersesat dihutan, ketinggalan rombongan
hingga harus bermalam di hutan belantara tanpa makanan, itulah mereka. Pasangan
yang unik.
“Tapi
lo masih belum bilang tentang kita kan sama orangtua lo?” adu tanya ini seakan
belum selesai.
“Kemarin..”
belum tuntas Ariny bicara Adit kembali menyela. “Kemarin apa? Lo bilang ya?”.
“Kebiasaan
banget si kalo orang lagi ngomong tuh main potong-potong aja, sebel deh,
kemarin mama emang nanya tentang lo, bahkan dia sempet liat lo waktu nganter
gue.” Ariny menjelaskan.
“Ko
tumben sih sampe keliatan, kan biasanya engga?”
“Yah..
udah takdirnya kali.”
“Oke,
besok gue kerumah lo.” Kali ini Ariny yang tersedak dengan ucapan Adit.
“Serius?
gue juga engga maksud buat secepet itu juga kali.” Muka Ariny memerah, debaran
jantungnya terasa hingga ke pipinya. Dan jangan tanya apa yang dirasakan Adit
setelah pembicaraan ini mulai keluar dari persembunyiannya.
Akhirnya
pertemuan mereka kali itu hanya bertema pertemuan dengan orangtua Ariny dan
diam, sekejap obrolan itu membuat Adit malas mencari topik lain untuk dibicarakan,
dan Ariny juga hanya terdiam ditingkahi sikap Adit yang berubah sedrastis itu.
“Yuk
pulang, angkot kalo jam segini suka lama datengnya.” Adit gemetar menaruh uang
diatas meja untuk membayar minuman mereka.
+++
Rumah
sederhana bercorak coklat dipadu jingga malam itu nampak indah dipadu sinar
orange lampu jalanan, rumah Adit yang terletak dipinggir jalan menjadi terlihat
ramai dengan banyaknya motor dan mobil yang berlalu-lalang, malam minggu kali
ini terasa getir baginya.
“Rumah
ini peninggalan orangtua angkat lo Dit, sekarang mereka udah ngga ada, predikat
lo kembali seperti semula. Seperti saat lo dipungut sama mereka.” Adit menghela
nafas, bicara sendiri didepan cermin persis seperti kisah ratu di Snow White, bedanya
ia malah merendahkan dirinya. Sedetik kemudian ponselnya berdering.
“Jalan
yuk?”
ada pesan singkat dari Ariny, enggan membalas ia justru merebahkan tubuhnya di
atas tempat tidur. Teringat sesuatu, dan memang ini juga situasi yang cukup
genting, ia bergegas keluar rumah dan berlari kecil menuju rumah temannya yang
berjarak tak jauh dari rumahnya.
“Ram..
Rama” seseorang menyeruak dari dalam rumah yang dari semenit yang lalu pintunya
diketuk oleh Adit.
“Eh,
elo Dit, tumben nih ada apaan?” Rama mengajaknya duduk diteras rumahnya.
“Gue
mau nanya nih, lo kan udah nikah, waktu ngelamar cewek lo, apa aja yang lo
siapin?” Adit menelan ludah, baginya membahas soal ini adalah topik yang sangat
baru, bahkan asing.
“Yah..
mental lah yang pasti, tampil aja apa adanya...”
“Oh
oke makasih ya Ram.” Adit langsung pamit secepat kilat, melupakan pesan lain
yang sudah ada diujung lidah Rama.
+++
Adit
langsung menyetop bajaj yang kebetulan melintas, setelah tawar-menawar harga,
kendaraan berwarna merah dan bersuara bising itu melesat pasti menuju alamat
yang dituju. Sesampainya disana Adit langsung terpaku didepan sebuah rumah
megah dengan aksen mediterania lengkap dengan segala fasilitasnya. Karena hari
sedang malam, warna asli rumah ini menjadi tersamarkan sinar bulan dan lampu-lampu
jalan.
“Rin,
gue udah didepan rumah lo nih.” Pesan singkat baru saja dibaca Ariny yang
sedang duduk membaca buku dikamarnya. Spontan ia langsung berdiri dan melesat
menuju pintu depan.
“Kamu
kenapa rin tiba-tiba lari begitu?” tanya Ayahnya yang hanya digubris dengan
angin lalu.
“Dit,
ayo sini masuk.” teriak Ariny dari depan pintu. Adit menepuk jidatnya karena
tingkah Ariny yang sama sekali diluar rencananya.
“Kenapa
main buka pintu aja, nyusun rencana dulu kenapa si dikit.” Gumam Adit jengkel
sambil melangkah memasuki rumah.
“Pa..
Ma.. ini ada Adit.” Seru Ariny kembali membuyarkan konsentrasi Adit yang mulai
nampak pucat dan berkeringat.
“Oh
jadi ini pacar kamu, silahkan duduk nak.” Sapaan hangat dari ayah Ariny bagai
petir ala sinetron yang menggelegar ditelinga Adit, sekarang muka Adit sempurna
sudah, pucat dengan keringat mulai menetes, seakan AC rumah Ariny tak berfungsi
baginya.
“Ariny
sering banget bicarain tentang kamu, hmm kesini naik apa?” kali ini ibu Ariny
angkat bicara, membuat sofa empuk yang Adit dudukin layaknya kursi panas macam
peserta kuis di televisi.
“Hmm
anu tante, naik angkot tadi, oh Ariny udah banyak cerita yah.” Senyum getir
Adit terkembang, sambil menatap penuh arti pada Ariny yang sekarang hanya
membalas senyum itu dengan senyum yang tak kalah getirnya.
“Wah,
capek juga dong yah kalo tiap hari kamu kesini naik angkot, kirain kamu
punya..” Ariny memotong pembicaraan ayahnya dengan menawarkan Adit minum.
“Air
putih aja Rin.” Jawab Adit singkat. Ariny pun berjalan ke dapur menyiapkan
minuman.
“Kamu
serius dengan anak saya?” ayah Ariny kembali membuka suara, mendesak mental
Adit perlahan.
“Karena
jika kamu serius, akan banyak hal yang harus kita sepakati bersama, kami tau
kalian berhubungan sudah lama, tapi kami sebagai orangtua juga harus tau, asal
usul pria yang menjadi pasangan anak kami, latar belakangnya jelas atau tidak,
kesiapannya matang atau tidak, begitu kan ma?” Adit makin tertunduk, ia merasa
ditelanjangi oleh perkataan ayah Ariny, peduli setan dengan saran Rama yang
mengharuskan ia menjadi ‘apa adanya’ didepan mereka.
“Hmm..
baik om, saya pamit dulu ya, akan saya pikirkan tentang yang tadi.” Adit
berdiri lalu mengulurkan tangan kanannya ingin menjabat tangan ayah Ariny.
“Dipikirkan
saja dulu.” Balasnya, tak menghiraukan tangan Adit yang telah terjulur kaku tak
dianggap.
“Lho,
udah mau pulang? Ko buru-buru?” Ariny yang baru keluar dengan gelas yang berisi
air hanya menatap punggung Adit yang menjauh dengan rasa bingung, agak sesak
dadanya melihat pemandangan itu.
+++
Suasana
cafe kali ini lengang, seakan kondisi mendukung sekali untuk Adit dan Ariny
membicarakan masalah semalam yang membuat Adit baru bisa memejamkan matanya
pukul tiga pagi.
“Sorry
Dit, gue tau gue salah, seharusnya gue..”
“iya
Rin, harusnya lo jujur sama gue, apa salahnya si jujur sama gue, puas udah
bikin malu gue didepan orangtua lo dan dirumah mewah lo itu hah!” Adit
meradang, rahangnya mengeras, terlihat jelas akan banyak yang akan dibahas
olehnya.
“Gue
ngga ada maksud begitu Dit, beneran..” Ariny memegang tangan Adit yang
mengepal, matanya mulai berair, tenggorokannya terasa asin seiring airmata yang
keluar bulir demi bulir.
“Bahkan
gue dateng pake angkot aja ngga luput dari pembahasan ayah lo, gue laki-laki
Rin, berasa diinjek-injek banget harga diri gue digituin!”
“Oh,
jadi lo nyerah? Baru pertemuan pertama aja lo udah mau nyerah? Lo tau engga
kenapa gue diem-diem cerita sama orangtua gue, karena hubungan kita juga butuh
kejelasan Dit, mau sampe kapan kita kaya gini terus, umur kita juga makin nambah,
belum lagi tawaran-tawaran perjodohan dari temen-temen ayah gue..”
“Tunggu,
perjodohan? Lo ngga pernah cerita masalah perjodohan sama gue, kenapa?”
“Ya
karena gue sayang sama lo lah, waktu awal kita jadian tawaran itu masih
main-main, tapi akhir-akhir ini semua mulai sering dibicaraain sama ayah gue.”
Ariny menyeka pinggir matanya, namun tetap tak menghentikan laju airmatanya
yang deras turun.
“Mungkin
kita ngga jodoh kali Rin.” Desah Adit yang langsung disambut tamparan keras di pipi kanannya, tamparan
untuk pertama kalinya selama dua tahun hubungan mereka. Tamparan yang membuat
luka dihati keduanya.
“Apa
lo bilang? Engga jodoh? Terus apa artinya dua tahun ini Dit, apa artinya hah!
Semua kenangan yang udah kita jalanin, hutan tempat kita tersesat, gunung yang
sama-sama kita daki, pertandingan bola yang sering kita tonton, cafe ini,
angkot yang sering kita tumpangin, bahkan lebih terasa nyaman daripada mobil
ayah gue sendiri, itu bukan jodoh? Jawab Dit, jawab!” beberapa pengunjung cafe
melirik pertengkaran mereka, memutuskan untuk tidak ikut campur dan menganggap
ini lumrah, karena setidaknya yang bertengkar tidak baku hantam dan merusak
fasilitas cafe.
“Gue
butuh waktu sendiri, kita butuh waktu untuk sendiri, maafin gue yah.” Setelah
lama terdiam, hanya itu yang terucap dari mulut Adit, sedetik kemudian ia
bangun dan berlalu meninggalkan Ariny yang masih terisak. Meninggalkan
kekasihnya yang selama dua tahun ini mengisi kekosongan hati yatim piatunya,
mengganti kasih sayang yang selalu absen di hari-hari sendirinya, dua tahun
yang amat berarti baginya, sungguh sangat berarti.
“Dit..
Adit..Adiiit!” suara teriakan bercampur isak tangis Ariny tak digubris Adit,
pria itu mulai mengecil dipandangan Ariny.
+++
Hari
yang menumpuk menjadi minggu lalu berganti menjadi bulan terus berjalan,
hubungan tanpa kejelasan, Ariny berusaha menghubungi Adit yang justru susah
dihubungi, hanya menambah rasa rindu yang bergesekan dengan rasa kesal. Selama
jeda waktu itu Adit bekerja keras, terus bekerja, hingga ia lupa semuanya, lupa
bahwa ia adalah anak yang tak punya siapa siapa, anak yang tinggal dirumah
sederhana peninggalan orangtua angkatnya, hanya itu yang ia tahu. Keadaan mulai
membaik, pekerjaannya menghasilkan beberapa lembar rupiah. Dengan sisa hati
yang diberani-beranikan ia berangkat menuju rumah Ariny, motor yang baru
dibelinya menyusuri jalan, jalan kenangan bersama kekasihnya yang sudah
berbulan-bulan ia tinggalkan tanpa kejelasan, tanpa penjelasan, tanpa kabar.
“Selamat
sore.. Ariny nya ada.” Sapanya pada seorang pria berkacamata seumurannya.
“Oh
Ariny, sebentar ya.. Sayang, ini ada tamu.. mau ketemu kamu katanya. Oh
silahkan masuk mas.” Hati yang diberani-beranikan itu kini meleleh sudah, bukan
hanya meleleh, tapi hancur lebih dari berkeping-keping. Hatinya musnah, tepat
saat laki-laki itu mengucapkan kata “sayang” beberapa detik lalu, ia tak
menyangka bahwa butuh dua tahun untuk membangun berjuta rasa menyenangkan itu,
namun bisa hancur dalam hitungan detik, kenangan itu hancur dalam hitungan
detik. yang kini tinggal hanya tenaga, yah.. tinggal tenaga yang ia punya untuk
menyambut Ariny.
“Siapa
say...ang?” Ariny terbata ketika menyeruak keluar mendapati suaminya dengan
seseorang yang amat ia kenal, jauh sebelum ia mengenal suaminya.
“Belum
sempet nanya si, aku tinggal dulu ya.” Pria berkacamata itu meninggalkan
mereka. Entah mau disebut apa hubungan mereka sekarang.
“Hai..hmm
sorry kalo ganggu.” Adit membuka suara.
“Oh..
kemana aja?” Ariny menjawab datar, ia sudah pintar menutupi kepiluan hatinya
selama beberapa bulan ini ditinggal tanpa kejelasan.
“Kapan
nikahnya, ko gue ngga diundang? Hmm, gue cuma mau minta maaf karena gue udah
ninggalin lo begitu aja kemarin.”
“Ngundang?
Harus yah gue ngundang orang yang ngga hargain gue, ini lebih dari sekedar
hubungan yang digantungin Dit, ini lebih dari itu. Tapi yaudahlah. Omongan lo
waktu di cafe kemarin memang bener ko, kita memang ngga jodoh. Dan asal lo tau
ya, ini juga bukan tentang restu, ini tentang keberanian. Kalo lo berani
berubah, kerja keras, restu orangtua gue juga dateng dengan sendirinya karena
ngeliat usaha lo buat ngedapetin gue. Dan satu hal lagi, dua tahun yang kita
jalanin kemarin juga memang ga ada artinya. Sorry gue banyak kerjaan, lo tau
kan pintu keluarnya lewat mana?” Ariny langsung bangkit meninggalkan Adit yang
tersenyum getir, berusaha membohongi persaannya yang pilu. Ariny berlari kecil
sambil menyeka ujung matanya.
+++
Bus jurusan kampung melayu-senen
berhenti di stasiun Senen, membuyarkan lamunan Adit yang harus turun mengejar
bus lain untuk sampai ke kantornya yang berada di jalan duren tiga. Meskipun
menjadi manager dan gajinya cukup untuk membeli mobil, ia enggan, motor yang
dulu ia pakai pun ia jual, ia lebih senang menaiki bus, karena bus inilah
satu-satunya kenangan yang tersisa, kenangan dua tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar