Laman

Selasa, 01 Januari 2013

Kau, Aku, dan Restu


Dalam suatu hubungan, pastilah dibutuhkan keseriusan yang mendalam serta kematangan dari masing-masing pasangan, saling pengertian, saling paham, tidak egois, mau saling berkorban dan segala macam “syarat” tak nampaknya. Namun dari sekian banyak syarat tak nampak itu, ada satu hal yang menjadi momok, satu hal yang bisa merusak namun juga bisa membangun, bahkan memperindah hubungan antar dua insan: restu. Yah.. inilah hal yang membuat hidup seseorang bernama Adit berubah seratus delapan puluh derajat berbeda. Pria berumur dua puluh lima tahun yang sedang duduk di dalam bus kota jurusan kampung melayu-senen ini hanya bisa tercenung, terkadang tersenyum sendiri mengenang nasibnya dua tahun yang lalu.
“Dit, kenapa si lo ngga mau kalo gue ajak ke rumah gue?” wanita berambut ikal sebahu ditingkahi kuncir kuda yang membungkus rambutnya tiba-tiba menanyakan hal yang belum pernah mereka singgung-singgung sebelumnya.
“Eh? Tumben banget lo ngomongin beginian?” Adit malah balik bertanya setelah tersedak karena pertanyaan Ariny.
“Yah.. lucu aja gitu, pacaran udah mau dua tahun tapi lo ngga pernah kerumah gue.” Mereka sama-sama terdiam, tak peduli keramaian yang ada disekeliling mereka, keramaian sebuah cafe yang menjadi saksi segalanya, saksi saat pertama kali mereka bertemu. Menghabiskan waktu bersama dan hingga saksi pengikraran janji cinta mereka. Hubungan mereka sangat unik, karena tak seperti pasangan lainnya yang harus cemburu pada cowoknya yang lebih mementingkan urusan bola daripada jalan bareng pacarnya, mereka justru membahas tentang sepakbola bersama, karena sepak bola lah yang mempertemukan mereka. Juga tentang pasangan-pasangan yang khawatir pacarnya pergi jauh-jauh naik gunung karena kegiatan pecinta alam, mereka justru naik gunung bersama, tersesat dihutan, ketinggalan rombongan hingga harus bermalam di hutan belantara tanpa makanan, itulah mereka. Pasangan yang unik.
“Tapi lo masih belum bilang tentang kita kan sama orangtua lo?” adu tanya ini seakan belum selesai.
“Kemarin..” belum tuntas Ariny bicara Adit kembali menyela. “Kemarin apa? Lo bilang ya?”.
“Kebiasaan banget si kalo orang lagi ngomong tuh main potong-potong aja, sebel deh, kemarin mama emang nanya tentang lo, bahkan dia sempet liat lo waktu nganter gue.” Ariny menjelaskan.
“Ko tumben sih sampe keliatan, kan biasanya engga?”
“Yah.. udah takdirnya kali.”
“Oke, besok gue kerumah lo.” Kali ini Ariny yang tersedak dengan ucapan Adit.
“Serius? gue juga engga maksud buat secepet itu juga kali.” Muka Ariny memerah, debaran jantungnya terasa hingga ke pipinya. Dan jangan tanya apa yang dirasakan Adit setelah pembicaraan ini mulai keluar dari persembunyiannya.
Akhirnya pertemuan mereka kali itu hanya bertema pertemuan dengan orangtua Ariny dan diam, sekejap obrolan itu membuat Adit malas mencari topik lain untuk dibicarakan, dan Ariny juga hanya terdiam ditingkahi sikap Adit yang berubah sedrastis itu.
“Yuk pulang, angkot kalo jam segini suka lama datengnya.” Adit gemetar menaruh uang diatas meja untuk membayar minuman mereka.
+++
Rumah sederhana bercorak coklat dipadu jingga malam itu nampak indah dipadu sinar orange lampu jalanan, rumah Adit yang terletak dipinggir jalan menjadi terlihat ramai dengan banyaknya motor dan mobil yang berlalu-lalang, malam minggu kali ini terasa getir baginya.
“Rumah ini peninggalan orangtua angkat lo Dit, sekarang mereka udah ngga ada, predikat lo kembali seperti semula. Seperti saat lo dipungut sama mereka.” Adit menghela nafas, bicara sendiri didepan cermin persis seperti kisah ratu di Snow White, bedanya ia malah merendahkan dirinya. Sedetik kemudian ponselnya berdering.
Jalan yuk?” ada pesan singkat dari Ariny, enggan membalas ia justru merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Teringat sesuatu, dan memang ini juga situasi yang cukup genting, ia bergegas keluar rumah dan berlari kecil menuju rumah temannya yang berjarak tak jauh dari rumahnya.
“Ram.. Rama” seseorang menyeruak dari dalam rumah yang dari semenit yang lalu pintunya diketuk oleh Adit.
“Eh, elo Dit, tumben nih ada apaan?” Rama mengajaknya duduk diteras rumahnya.
“Gue mau nanya nih, lo kan udah nikah, waktu ngelamar cewek lo, apa aja yang lo siapin?” Adit menelan ludah, baginya membahas soal ini adalah topik yang sangat baru, bahkan asing.
“Yah.. mental lah yang pasti, tampil aja apa adanya...”
“Oh oke makasih ya Ram.” Adit langsung pamit secepat kilat, melupakan pesan lain yang sudah ada diujung lidah Rama.
+++
Adit langsung menyetop bajaj yang kebetulan melintas, setelah tawar-menawar harga, kendaraan berwarna merah dan bersuara bising itu melesat pasti menuju alamat yang dituju. Sesampainya disana Adit langsung terpaku didepan sebuah rumah megah dengan aksen mediterania lengkap dengan segala fasilitasnya. Karena hari sedang malam, warna asli rumah ini menjadi tersamarkan sinar bulan dan lampu-lampu jalan.
“Rin, gue udah didepan rumah lo nih.” Pesan singkat baru saja dibaca Ariny yang sedang duduk membaca buku dikamarnya. Spontan ia langsung berdiri dan melesat menuju pintu depan.
“Kamu kenapa rin tiba-tiba lari begitu?” tanya Ayahnya yang hanya digubris dengan angin lalu.
“Dit, ayo sini masuk.” teriak Ariny dari depan pintu. Adit menepuk jidatnya karena tingkah Ariny yang sama sekali diluar rencananya.
“Kenapa main buka pintu aja, nyusun rencana dulu kenapa si dikit.” Gumam Adit jengkel sambil melangkah memasuki rumah.
“Pa.. Ma.. ini ada Adit.” Seru Ariny kembali membuyarkan konsentrasi Adit yang mulai nampak pucat dan berkeringat.
“Oh jadi ini pacar kamu, silahkan duduk nak.” Sapaan hangat dari ayah Ariny bagai petir ala sinetron yang menggelegar ditelinga Adit, sekarang muka Adit sempurna sudah, pucat dengan keringat mulai menetes, seakan AC rumah Ariny tak berfungsi baginya.
“Ariny sering banget bicarain tentang kamu, hmm kesini naik apa?” kali ini ibu Ariny angkat bicara, membuat sofa empuk yang Adit dudukin layaknya kursi panas macam peserta kuis di televisi.
“Hmm anu tante, naik angkot tadi, oh Ariny udah banyak cerita yah.” Senyum getir Adit terkembang, sambil menatap penuh arti pada Ariny yang sekarang hanya membalas senyum itu dengan senyum yang tak kalah getirnya.
“Wah, capek juga dong yah kalo tiap hari kamu kesini naik angkot, kirain kamu punya..” Ariny memotong pembicaraan ayahnya dengan menawarkan Adit minum.
“Air putih aja Rin.” Jawab Adit singkat. Ariny pun berjalan ke dapur menyiapkan minuman.
“Kamu serius dengan anak saya?” ayah Ariny kembali membuka suara, mendesak mental Adit perlahan.
“Karena jika kamu serius, akan banyak hal yang harus kita sepakati bersama, kami tau kalian berhubungan sudah lama, tapi kami sebagai orangtua juga harus tau, asal usul pria yang menjadi pasangan anak kami, latar belakangnya jelas atau tidak, kesiapannya matang atau tidak, begitu kan ma?” Adit makin tertunduk, ia merasa ditelanjangi oleh perkataan ayah Ariny, peduli setan dengan saran Rama yang mengharuskan ia menjadi ‘apa adanya’ didepan mereka.
“Hmm.. baik om, saya pamit dulu ya, akan saya pikirkan tentang yang tadi.” Adit berdiri lalu mengulurkan tangan kanannya ingin menjabat tangan ayah Ariny.
“Dipikirkan saja dulu.” Balasnya, tak menghiraukan tangan Adit yang telah terjulur kaku tak dianggap.
“Lho, udah mau pulang? Ko buru-buru?” Ariny yang baru keluar dengan gelas yang berisi air hanya menatap punggung Adit yang menjauh dengan rasa bingung, agak sesak dadanya melihat pemandangan itu.
+++
Suasana cafe kali ini lengang, seakan kondisi mendukung sekali untuk Adit dan Ariny membicarakan masalah semalam yang membuat Adit baru bisa memejamkan matanya pukul tiga pagi.
“Sorry Dit, gue tau gue salah, seharusnya gue..”
“iya Rin, harusnya lo jujur sama gue, apa salahnya si jujur sama gue, puas udah bikin malu gue didepan orangtua lo dan dirumah mewah lo itu hah!” Adit meradang, rahangnya mengeras, terlihat jelas akan banyak yang akan dibahas olehnya.
“Gue ngga ada maksud begitu Dit, beneran..” Ariny memegang tangan Adit yang mengepal, matanya mulai berair, tenggorokannya terasa asin seiring airmata yang keluar bulir demi bulir.
“Bahkan gue dateng pake angkot aja ngga luput dari pembahasan ayah lo, gue laki-laki Rin, berasa diinjek-injek banget harga diri gue digituin!”
“Oh, jadi lo nyerah? Baru pertemuan pertama aja lo udah mau nyerah? Lo tau engga kenapa gue diem-diem cerita sama orangtua gue, karena hubungan kita juga butuh kejelasan Dit, mau sampe kapan kita kaya gini terus, umur kita juga makin nambah, belum lagi tawaran-tawaran perjodohan dari temen-temen ayah gue..”
“Tunggu, perjodohan? Lo ngga pernah cerita masalah perjodohan sama gue, kenapa?”
“Ya karena gue sayang sama lo lah, waktu awal kita jadian tawaran itu masih main-main, tapi akhir-akhir ini semua mulai sering dibicaraain sama ayah gue.” Ariny menyeka pinggir matanya, namun tetap tak menghentikan laju airmatanya yang deras turun.
“Mungkin kita ngga jodoh kali Rin.” Desah Adit yang langsung disambut  tamparan keras di pipi kanannya, tamparan untuk pertama kalinya selama dua tahun hubungan mereka. Tamparan yang membuat luka dihati keduanya.
“Apa lo bilang? Engga jodoh? Terus apa artinya dua tahun ini Dit, apa artinya hah! Semua kenangan yang udah kita jalanin, hutan tempat kita tersesat, gunung yang sama-sama kita daki, pertandingan bola yang sering kita tonton, cafe ini, angkot yang sering kita tumpangin, bahkan lebih terasa nyaman daripada mobil ayah gue sendiri, itu bukan jodoh? Jawab Dit, jawab!” beberapa pengunjung cafe melirik pertengkaran mereka, memutuskan untuk tidak ikut campur dan menganggap ini lumrah, karena setidaknya yang bertengkar tidak baku hantam dan merusak fasilitas cafe.
“Gue butuh waktu sendiri, kita butuh waktu untuk sendiri, maafin gue yah.” Setelah lama terdiam, hanya itu yang terucap dari mulut Adit, sedetik kemudian ia bangun dan berlalu meninggalkan Ariny yang masih terisak. Meninggalkan kekasihnya yang selama dua tahun ini mengisi kekosongan hati yatim piatunya, mengganti kasih sayang yang selalu absen di hari-hari sendirinya, dua tahun yang amat berarti baginya, sungguh sangat berarti.
“Dit.. Adit..Adiiit!” suara teriakan bercampur isak tangis Ariny tak digubris Adit, pria itu mulai mengecil dipandangan Ariny.
+++
Hari yang menumpuk menjadi minggu lalu berganti menjadi bulan terus berjalan, hubungan tanpa kejelasan, Ariny berusaha menghubungi Adit yang justru susah dihubungi, hanya menambah rasa rindu yang bergesekan dengan rasa kesal. Selama jeda waktu itu Adit bekerja keras, terus bekerja, hingga ia lupa semuanya, lupa bahwa ia adalah anak yang tak punya siapa siapa, anak yang tinggal dirumah sederhana peninggalan orangtua angkatnya, hanya itu yang ia tahu. Keadaan mulai membaik, pekerjaannya menghasilkan beberapa lembar rupiah. Dengan sisa hati yang diberani-beranikan ia berangkat menuju rumah Ariny, motor yang baru dibelinya menyusuri jalan, jalan kenangan bersama kekasihnya yang sudah berbulan-bulan ia tinggalkan tanpa kejelasan, tanpa penjelasan, tanpa kabar.
“Selamat sore.. Ariny nya ada.” Sapanya pada seorang pria berkacamata seumurannya.
“Oh Ariny, sebentar ya.. Sayang, ini ada tamu.. mau ketemu kamu katanya. Oh silahkan masuk mas.” Hati yang diberani-beranikan itu kini meleleh sudah, bukan hanya meleleh, tapi hancur lebih dari berkeping-keping. Hatinya musnah, tepat saat laki-laki itu mengucapkan kata “sayang” beberapa detik lalu, ia tak menyangka bahwa butuh dua tahun untuk membangun berjuta rasa menyenangkan itu, namun bisa hancur dalam hitungan detik, kenangan itu hancur dalam hitungan detik. yang kini tinggal hanya tenaga, yah.. tinggal tenaga yang ia punya untuk menyambut Ariny.
“Siapa say...ang?” Ariny terbata ketika menyeruak keluar mendapati suaminya dengan seseorang yang amat ia kenal, jauh sebelum ia mengenal suaminya.
“Belum sempet nanya si, aku tinggal dulu ya.” Pria berkacamata itu meninggalkan mereka. Entah mau disebut apa hubungan mereka sekarang.
“Hai..hmm sorry kalo ganggu.” Adit membuka suara.
“Oh.. kemana aja?” Ariny menjawab datar, ia sudah pintar menutupi kepiluan hatinya selama beberapa bulan ini ditinggal tanpa kejelasan.
“Kapan nikahnya, ko gue ngga diundang? Hmm, gue cuma mau minta maaf karena gue udah ninggalin lo begitu aja kemarin.”
“Ngundang? Harus yah gue ngundang orang yang ngga hargain gue, ini lebih dari sekedar hubungan yang digantungin Dit, ini lebih dari itu. Tapi yaudahlah. Omongan lo waktu di cafe kemarin memang bener ko, kita memang ngga jodoh. Dan asal lo tau ya, ini juga bukan tentang restu, ini tentang keberanian. Kalo lo berani berubah, kerja keras, restu orangtua gue juga dateng dengan sendirinya karena ngeliat usaha lo buat ngedapetin gue. Dan satu hal lagi, dua tahun yang kita jalanin kemarin juga memang ga ada artinya. Sorry gue banyak kerjaan, lo tau kan pintu keluarnya lewat mana?” Ariny langsung bangkit meninggalkan Adit yang tersenyum getir, berusaha membohongi persaannya yang pilu. Ariny berlari kecil sambil menyeka ujung matanya.
+++
            Bus jurusan kampung melayu-senen berhenti di stasiun Senen, membuyarkan lamunan Adit yang harus turun mengejar bus lain untuk sampai ke kantornya yang berada di jalan duren tiga. Meskipun menjadi manager dan gajinya cukup untuk membeli mobil, ia enggan, motor yang dulu ia pakai pun ia jual, ia lebih senang menaiki bus, karena bus inilah satu-satunya kenangan yang tersisa, kenangan dua tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar