Surat menjadi ikon saat itu, semua
selalu berkirim surat. Baik jarak dekat ataupun jauh, Telepon genggam saat itu
masih menjadi barang langka. Tak terkecuali diriku yang saat ini masih berkutat
didepan sebuah kertas putih kosong, ini adalah kertas putihku yang ke lima
belas, sementara empat belas lainnya berserakan di lantai, penuh dengan coretan
tulisan yang menurutku kurang tepat untuk disampaikan kepada seorang gadis.
“fokus!”
ujarku menyemangati diri. Ini bukan kali pertama. Namun entah menagpa ini yang
paling sulit. Sejenak kusingkirkan kertas putih itu ke pojok meja belajarku.
Menghela nafas dalam-dalam dan kembali mengulang semua, ya... memutar ulang
semua memoriku tentangnya.
+++
Saat
kusebutkan kata ‘Gedung Sekolah SMA’, apa yang ada dalam pikiran kalian? Gedung
tua yang hampir runtuh? Atau sebaliknya, bangunan maha luas dan fasiltas
lengkap? Jika bagimu seperti itu baiklah, bayangkanlah seperti itu. tapi bagiku
ingatan tentang sekolah adalah ingatan tentang dia. Bukan pelajaran, guru-guru
galak, satpam sekolah yang garang saat kita telat. Atau pun solidaritas antar
teman. Bagiku ini tentang dia.
“Fin...
udah sih relain aja kenapa?’ ujar Bias sambil menyeruput es teh pesanannya, ruang
kelas saat jam istirahat bisa berubah fungsi menjadi kantin, banyak murid yang
makan di kelas.
“Relain
apanya? Jangan sok tau deh lo.” Aku pun kembali meneruskan bacaanku yang terhenti
karena pertanyaannya. “Kahlil Gibran: sayap-sayap patah”.
“Ya
ampun! dikira gue ngga tau apa, dari kelas satu SMA Fin gue jadi temen lo,
sampe hafal gue buku apaan aja yang udah lo baca. pake belaga bego lagi, lo
suka kan sama Ayu?”
“Emang
kenapa kalo misalnya gue suka sama dia? Ngga ada larangannya kan?” mataku tetap
tertuju ke ‘Kahlil Gibran’, rasanya malas sekali menatap wajah teman yang
sedang kecut saat kesal terhadap kita.
“Lo
bayangin sekarang, dia anak orang kaya, satu-satunya murid yang punya telepon
genggam di sekolah ini, setiap hari di jemput pake sedan, buat ngedapetin
perhatiannya lo mau bawa ‘senjata’ apa?” Bias masih memasang muka kecutnya.
“Cinta.”
Mataku beralih memandangnya.
“Lo
inget ngga kata kahlil gibran, “cinta hanya datang saat cinta membutuhkan
cinta” saat ini gue membutuhkan itu Yas. Gue lagi membutuhkan cintanya.”
“Cinta,
cinta. Makan tuh cinta sampe lo kenyang! Gue mau ngebangunin lo dari mimpi Fin,
kalo terbang jangan ketinggian, kalo nanti lo jatuh, sakitnya dua minggu ngga
hilang-hilang.” Kami jadi saling bantah satu sama lain, saling mematahkan
argumen satu sama lain. Hingga bel masuk berbunyi dan mengakhiri debat kami.
+++
Dear Ayu...
saat melihatmu seindah itu sebelumnya. Indah dari biasanya
dengan bandana putih, rambut dan seperti kebetulan yang berkat kau, aku tau
terurai
panjang sepunggung, buku menyenang kan, aku bisa kau bukan bidadari
berjudul
“panduan fisika untuk SMA” melihat itu
setiap hari, tepatnya atau pun seorang
di
tanganmu. Alismu berkerut saat istirahat. Artis ibu kota yang
saat
membaca nya. Semua begitu perpustakaan datang ke sekolah.
indah,
bagiku belum ada sesuatu menjadi lebih kau adalah Ayu, yang-
pertama
kali mengisi hatiku dengan sesuatu y ang bisa membuat orang merasa kuat dan
juga lemah disaat yang sama: Cinta.
From
your admire.
“Ya
ampun! Yu, ini orang niat banget bikin suratnya.” Ayu sampai kaget saat
menyadari akan hal itu.
“Astaga
Rita! Demen banget sih bikin kaget orang!” Ayu mencubit lengan temannya dengan
gemas.
“Nih,
lihat deh, masa susunan katanya ngebentuk nama lo gitu, duh romantis banget!”
“Rita,
jangan kayak anak kecil deh! Lo kan tau gue sukanya sama siapa.” Ayu meletakkan
kertas itu di atas mejanya. Pelajaran kosong membuat kelasnya menjadi gaduh
oleh kesibukan masing-masing. Ada yang makan, ngobrol, namun ada juga kutu buku
yang masih saja belajar.
“Iya
iya gue tau lo udah punya pacar dan dia ada nun jauh di negeri orang. Tapi apa
lo yakin kalo dia ngga kepincut cewek lain disana Yu?”
“Gue
yakin ko, kami berdua kan udah saling janji untuk setia.” Ayu menyunggingkan
senyumnya.
“Yah
Yu, bisa aja kan dia bohongin lo?”
“Nih
buktinya, surat-surat dari dia masih ada, dia bilang sendiri kok kalo dia ngga
selingkuh.” Ayu tidak terima atas tudingan temannya.
“Yah
surat kan bisa aja bohong.” Rita kembali menimpali.
“Nah
itu lo tau, berarti yang nulis surat ini juga pasti Cuma gombal doang, bisa aja
kan dia Cuma taruhan sama temennya, kalo bisa dapetin gue terus dia menang
gitu. Ah basi!”
“Iya
maaf-maaf, jangan marah dong, lagian gue belum pernah aja ngeliat orang nulis
surat cinta sampe segininya.”
“Udahlah
lupain aja, satu-satunya yang harus kita lakukan dengan surat ini adalah...”
Ayu beranjak dari tempat duduknya, Rita beringsut mengikutinya dari belakang,
Ayu berjalan keluar kelas dan berhenti di depan tong sampah yang berada di sisi
taman sekolah.
“Membuangnya.”
Lanjutnya. Ayu berlalu meninggalkan Rita.
+++
“Gimana
hasilnya?” tanya Bias, mulutnya kembali menyunyah siomay. Kantin sekolah padat
merayap saat jam istirahat.
“Nihil.” Ucapku lemas sambil mengaduk-aduk kuah bakso.
Selara makan jadi hilang.
“Bener
kan firasat gue, dia aja ngga tau siapa yang ngirim surat ke dia, kenapa ngga
berani sih nulisin nama lo di surat itu? halah pake bahasa inggris segala lagi.
payah lo!”
“Gue
udah ngikutin dia ke manapun dia pergi, tapi dia ngga mau tuh ngebahas masalah
surat dari gue, dia malah asyik belanja sama temannya.” Aku menghela nafas.
“Lo
gila ya... sampe ngikutin mereka belanja, apa ngga ketauan?” siomay Bias sudah
habis, berbanding tebalik dengan bakso-ku.
“Yah
gue pinter lah, kadang ngumpet deket pot bunga, nyamar pura-pura jadi patung,
tapi karena gue ngebuntutuin dia, gue jadi tau info baru nih” Ujarku
menceritakan kronologis kejadiannya.
“Info
apaan? Kayak di TV aja lo, ada sekilas infonya.” Bias tertawa.
“Serius
Yas, ternyata dia itu udah punya cowok, tapi cowoknya itu ada di luar negeri.”
“Nah,
tuh kan sekarang nambah lagi masalahnya, dia udah punya cowok. Jangan nekat
deh!” Bias mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat.
“Justru
itu Yas, gue pasti bisa ngerebut dia dari cowoknya, ngga ada cewek yang tahan
sama LDR Yas.” Tandasku penuh semangat, bakso-ku pasti sudah dingin.
“Pejuang
cinta sejati lo emang, salut deh gue sama lo!” Bias bersendawa setelah kenyang
dengan makanannya.
“Tapi
gue jadi inget kata-kata si kahlil gibran deh, “cinta hanya datang saat cinta
membutuhkan cinta”. Pertanyaannya, emang kita tau kapan kita membutuhkan itu?”
rasa-rasanya jarang sekali dia menanggapi buku-buku bacaanku.
“Maksud
lo?”
“Antara
kebutuhan dan keinginan kan beda Fin” Bias kelihatan mulai serius.
“Gue
yakin gue ini butuh ko, bukan ingin.” Aku sudah tak peduli dengan baksonya.
“Kebutuhan
itu tersirat Fin, ngga dirasakan tapi kita harus mendapatkan itu. dalam kasus
lo ini bukannya kedengerannya kayak dipaksain yah?”
“Lo
ini sebenernya ngedukung gue apa ngga sih Yas!” air muka ku berubah.
“Ya
ampun, sensitif banget nih anak kayak cewek lagi dapet. Gue ngudukung lo lah
pasti, tapi sebagai sahabat, gue kan mesti ngasih nasehat juga.” Bias menepuk
pundakku.
“Pokoknya
gue ngga boleh menyerah gitu aja, pejuang cinta itu harus berjuang sampai
akhir, apa perlu nih gue keluarin kata-katanya Kahlil Gibran tentang perjuangan
cinta?” tanyaku pada Bias yang hanya dijawab oleh punggungnya yang mulai
mengecil.
“Woi
Bias, tungguin!” sebagian orang yang ada di kantin melihat kearahku.
+++
“Sayang...
lagi ngapain disana?” telepon antar benua itu baru saja berlangsung, menjadi
pelepas dahaga rindu bagi yang sedang masuk kedalam gurun pasir cinta.
“Lagi
belajar Yu, kamu lagi ngapain? Tanya suara diseberang sana.
“Lagi
mikirin kamu, kamu kapan sih ke jakarta?, aku kangen banget tau sama kamu!” Ayu
merajuk, ujian terberat hubungan jarak jauh mulai ia rasakan.
“Aku
kan mesti nyelesaikan tugas dulu.” Jawab lelaki itu singkat.
“Terus
kamu ko jarang ngirim surat lagi sih?”
“Kan
aku bilang tadi, aku lagi sibuk, kamu ngerti kan?”
“Sayang,
kata Rita, hubungan jarak jauh itu banyak godaannya, terutama gadis-gadis
disana, kamu ngga begitu kan?”
“Ya
nggalah Yu, kamu ngaco deh, aku kan udah punya kamu.”
“Kok
kamu manggil aku nama sih, ngga kaya biasanya?”
“Loh,
nama kamu Ayu kan, ayolah! kita kan bukan orang yang baru pertama kali jadian.
Udah dulu yah, aku capek nih!”
“Iya
oke, maaf yah bikin kamu emosi, aku Cuma kangen sama kamu.” Telepon terputus,
mata Ayu berkaca, dan lambat laun menganak sungai yang kian deras membasahi
pipinya.
Sementara di seberang benua sana.
“Who’s
that darl?”
“Just friend honey.” Jawab pria yang
menerima telepon dari Ayu tadi kepada seorang wanita dengan pakaian mini dress
yang berjalan menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi.
+++
Dear Ayu...
Pernahkah
kau berdiri di tepi sungai ketika malam hari dan saat bulan bersinar cerah? Apa
yang kau lihat disana? Jika jawabannya adalah, kau melihat seonggok rembulan
berukuran kecil, itulah aku.
Aku memang tak seindah rembulan yang asli, tak secerah
rembulan yang sebenarnya. Namun lihatlah... aku lebih dekat denganmu daripada
rembulan diatas sana, nun jauh disana.
Semoga kau bisa tidur nyenyak malam ini, tanpa
memikirkan rembulan yang jauh dari genggamanmu.
Dari:
rembulan yang selalu menantimu
di
permukaan sungai.
“Lo penasaran ngga sih, siapa yang ngirim
surat ini? Puitis abis! jadi gue yang melting bacanya” Rita tertawa sekaligus mengajukan pertanyaan pada
Ayu.
“Hmm,
si kutu buku mana Ta?”
“Lah,
kenapa jadi nyariin dia?” Rita menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“pasti
Cuma dia yang kalo istirahat ngga keluar kelas, dan yang ngga pernah ikut
olahraga karena dia lemah jantung, dia pasti tau siapa yang ngirim surat ini.”
Ayu mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian kelas: tidak ada.
“Lo
yakin mau ngomong sama dia, orangnya kan ngeselin abis Yu.”
“Daripada
gue penasaran, ayo kita ke kantin.” Ayu menarik lengan Rita.
+++
“Budi,
langsung aja nih, lo pasti tau kan siapa yang ngirim surat ke gue?”
“Weits,
tunggu dulu, gue tau sih siapa orangnya, tapi ini ngga gratis!” jawabnya sambil
menyeringai. Menghentikan suapan bakso ke dalam mulutnya.
“Tuh
kan, apa gue bilang, orangnya ngeselin kan?” Bisik Rita di telinga Ayu.
“Oke,
lo mau apaan? gue kasih.” Jawab Ayu dengan muka kecut.
“Es
krim tiga scoup, sama bayarin bakso gue.” Ucap Budi dengan santai, tak peduli
dengan muka masam kedua gadis yang sedang berdiri di hadapannya.
“Ah
gila kali lo ya! Pemerasan tuh namanya!” Rita bereaksi setelah lama terdiam.
“Sssst...
oke oke, sepakat! Tapi siapa dulu yang ngirim surat itu?.” Ayu mencoba
menenangkan Rita sekaligus membereskan urusannya dengan si kutu buku.
“Namanya
Fino Dharma Suseno, kelas 12 IPS 1.” Ujar Budi lalu kembali mengunyah bakso
yang ada di mulutnya.
+++
Dear Fino...
Sungguh
aku tak pandai merangkai kata, namun jika kau ingin tau kepastian itu, kutunggu
kau di taman sekolah sore ini. Jangan buatku menunggu.
From:
A
“Tuh
kan, gue bilang juga apa Yas!” Bias tercekat sesaat ketika aku selesai membaca
surat balasan dari Ayu.
“Ini
beneran si Ayu yang nulis nih? Kok surat lo dibales sih.”
“Hahaha,
jadi orang tuh optimis makanya! Yuhuu.” Walaupun dibungkus dengan amplop putih
biasa, tanpa corak dan hiasan serta wewangian, surat balasan itu benar-benar
membuatku semangat menjalani sisa pelajaran yang ada hari ini, waktu terasa
berlalu begitu cepat. Dan saat bel pulang berbunyi aku langsung melesat menuju tempat
yang di janjikan.
“Ehemm,
Ayu...” gadis yang kupanggil menolehkan kepalanya, gerakan itu tiba-tiba saja
melambat, aku bisa menikmati pemandangan itu lebih lama dari biasanya. Iya lalu
berdiri dan menghampiriku.
“Oh,
jadi elo yang selama ini ngirim surat ke gue!” suaranya meninggi. Merusak semua
imajinasiku dan membangunkanku dari gerakan lambat tadi.
“Hmm,
iya...”
“Kenapa
ngga bilang langsung aja? Takut yah? Masih aja pake surat, kenapa ngga pake
handphone? Oh iya gue lupa, lo pasti ngga punya kan. Kenapa lo suka sama gue?
Karena gue cantik? Setelah tau gue punya pacar, lo masih juga ngirim surat ke
gue, ngga tau malu banget lo!” aku tercekat, rongga pernfasanku seakan
menyempit, sulit sekali rasanya bernafas saat ini. Inikah rasanya jatuh setelah
terbang begitu tinggi?
“Hmm,
gue.. anu.. gue Cuma suka aja sama lo. Dan gue bener-bener ngga nyangka kalo
reaksi lo bakalan kayak begini.” Aku mencoba menyusun kalimat secepat mungkin,
memaksa otak bekerja keras setelah jatuh dari tingginya khayalan.
“Lo
pasti ngebuntutin gue kan? Kampungan banget tau ngga cara lo. Gue tegasin yah
sama lo. Gue udah punya pacar dan gue ngga suka sama lo!” bayangan Ayu yang
memakai bandana putih sambil membaca buku fisika itu perlahan sirna,
tergantikan dengan sayatan kata-katanya yang membuat sesak baik secara langsung
ataupun tidak. Ayu beranjak pergi setelah puas melucutiku dengan kata-katanya,
membuatku malu walaupun tak ada satu orang pun yang melihatku di sana. Aku
melangkah menuju bangku taman, mencoba mencerna semuanya.
+++
Aku
kembali menarik kertas putih tersebut, setelah berfikir lama, kuputuskan untuk
mengakhiri semua tanpa surat. Menghancurkan semua mimpi yang terlanjur ada
walaupun baru sebatas pondasi. Semuanya harus ku akhiri!
+++
Hari
itu sedang di adakan lomba antar kelas, dimana semua kelas di adu dalam
berbagai olahraga, dari mulai sepak bola, volley, bulu tangkis, sampai tenis
meja. Namun aku sama sekali tak tertarik dengan semua itu. tujuanku dari rumah
sudah bulat: berbicara pada Ayu.
“Mau
ngasih surat lagi?” ucapnya saat aku baru saja muncul dihadapannya.
“Bukan
kok, gue Cuma mau ngomong sesuatu aja.”
“Ngomong
apa?”
“gue
mau minta maaf kalo udah buat lo emosi kemaren, gue juga minta maaf soal
surat-surat gue yang terkesan memaksa. Gue baru sadar satu hal, bahwa segala
hal yang di paksakan pasti hasilnya ngga bagus, apalagi masalah hati dan cinta.
Semoga pria yang ada di luar negeri sana bisa membuat lo bahagia.” Aku
buru-buru meninggalkannya, karena aku yakin dia pun takkan tahan melihat
wajahku lama-lama di dekatnya.
“Fino!” Bias memanggilku, dia bermain cukup
hebat saat mewakili kelasku dalam pertandingan sepak bola tadi.
“Wih,
gila banget lo main tadi, hattrick!” aku mengahmpirinya lalu memukul-mukul
pelan lengannya.
“Hahaha,
siapa dulu dong BIAS!” dia menepuk dada.
“Gue
mau lanjut babak kedua dulu nih, jangan kemana-mana lo, dukung gue oke?”
“SIP
BOS!” ujar ku mantap.
Beberapa
saat setelah Bias meninggalkanku, seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Fino
kan..?” seorang gadis muncul entah darimana, walaupun dia teman satu sekolah,
namun aku jarang sekali melihatnya. Dan pemandangan itu terjadi lagi, gerakan
lambat itu berlangsung lagi.
“Hmm
kok lo tau nama gue?” aku terbata bertanya.
“Ya
karena gue cari tau tentang lah.” Dia tertawa, suara tawa seorang gadis untuk
pertama kalinya setelah kemarin telingaku dibuat panas, juga oleh seorang
gadis.
“Gue
Cuma mau balikin ini.” Dia menyerahkan dua pucuk surat, surat yang amat sangat
aku kenal.
“Surat
ini terlalu bagus buat tempat sekotor tong sampah.” Kali ini dia tersenyum, dan
aku melihat senyum itu dari jarak yang cukup dekat.
“Gue
Fino, dan lo...?” aku mengulurkan tangan.
“Gue
Mariska, kelas 12 IPS 3. Jadi kita teman nih?” aku menjawabnya dengan anggukan
kecil lalu melangkah menuju tempat sampah yang ada di pinggir lapangan.
“Lho
kok dibuang suratnya?” Mariska mengerutkan kedua alisnya.
“Hmm,
sekarang tanggal berapa ya?”
“1
Februari, kenapa?” Mariska kembali bertanya. Dia semakin terlihat cantik saat
sedang penasaran.
“Hmm
ga apa apa, Cuma nanya aja.” Kali ini giliranku yang tersenyum .
---the end---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar