“Terima kasih atas bantuanmu Farhan,
kau benar-benar sangat membantu pekerjaanku hari ini.” Pak Rusli mengusap peluh
di keningnya. Memeras susu sapi tidak semudah kelihatannya. Membutuhkan teknik
khusus, kita harus tahu kapan sapi siap untuk diperas, belajar memahaminya. Aku
sampai senyum-senyum sendiri, ternyata binatang ingin dimengerti juga atas
perasaannya. Bagaimana manusia yang notabene seringkali memakai hati dalam
menghadapi hidup.
“Sama-sama Pak, ini bukan apa-apa.”
Sahutku sambil membersihkan tangan di westafel, peternakan sapi beliau sedikit
banyak telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibanding sebelumnya.
“Aku harus pergi, senang sekali bisa
membantumu hari ini.” Setelah mengeringkan tangan aku harus bergegas.
“Nak, bawalah ini, jangan
sungkan-sungkan.” Pak Rusli memaksaku untuk menerima sebotol susu segar. Aku
terpaksa menerimanya.
“Kau tidak perlu begitu.” Ucapku.
“Ini bukan apa-apa Nak.” Balasnya
sambil tersenyum, mengingatkanku akan perkataanku barusan, aku melangkah keluar
dari peternakan sambil meneguk susu segar.
+++
Sangat menyenangkan bisa tinggal di
kampung ini, sebuah tempat yanng berada persis di kaki bukit, rerumputan tumbuh
subur menghijau sejauh mata memandang, udara dingin dengan suhu yang nyaman
untuk ditinggali, belum lagi aliran mata air yang menghidupi pemukiman penduduk
disekitarnya, mengairi ladang-ladang, menghidupi hewan ternak, tetumbuhan.
Sungguh aku sangat beruntung berada disini.
“Farhan, kemarilah! aku butuh
bantuanmu.” Teman baikku Tamir memanggil, kepalaku menggeleng. Dia tahu aku
lelah dan enggan untuk sedikit memaksaku.
“Hmm, oke istirahatlah, jika
tenagamu sudah kembali terisi mampirlah kerumahku.” Ia menepuk bahuku lalu
pamit menjauh, Kubalas dengan anggukan kecil.
+++
“Mimpi... kita semua bermimpi.
Menjadi Insinyur, Dokter, bahkan Presiden. Lantas pertanyaannya, apa mimpimu
nak?” seorang kakek tua bertanya padaku. Pertanyaan itu agak asing buatku.
Mimpi? Aku terdiam cukup lama, lalu saat kucoba menggerakkan mulutku untuk
menjawab. Lidahku tiba-tiba menjadi kaku! Seakan lidah ini terbuat dari
potongan besi yang sudah dingin. Mataku hanya tertuju kepada kakek tua itu,
sedang suasana tempat kami berbicara buram, seakan kami tidak berada dimanapun.
“Kau tak mampu menjawabnya anakku?
Kau tak tahu kenapa kau tak bisa menjawab? Karena kau tidak pernah bermimpi!
Kau hanya melakukan, tanpa berfikir! Kau tak punya tujuan anakku. Bahkan kau
lupa kapan terakhir kali kau bermimpi bukan?” kakek tua itu mengelus janggutnya
yang beruban panjang, melihatku dengan tatapan nanar.
“Sadarlah anakku, temukan jawaban
atas pertanyaan sederhana ini.”
Mataku terbuka, keringat sudah
membanjiri sekujur tubuhku. Ini mimpi yang sangat aneh! Jika kupikir-pikir
lagi. perkataan kakek itu benar juga. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku
bermimpi di saat aku tidur. Selama ini aku hanya tidur tanpa bermimpi, lalu
bangun dan kembali membantu penduduk kampung.
Aku lupa darimana asalku. Aku... apa sebenarnya tujuanku disini? Dan...
siapa diriku sebenarnya?
+++
Ruang
tamu rumah Tamir sangat indah, design interiornya sederhana namun sekaligus
memberikan kesan megah dan bersih. Aku membantunya saat ia membangun tempat
tinggalnya. Juga tempat kami saat ini duduk. Kursi berbalut kulit asli. Sangat
nyaman bagi siapapun tamu yang duduk.
“Jika kau bertanya padaku siapa
dirimu sebenarnya? aku tidak bisa menjawabnya.” Air muka Tamir berubah, aku
bisa melihatnya.
“Lantas kenapa aku bisa ada disini
kawan?” aku meneguk teh yang tersaji di atas meja.
“Aku menemukanmu di sisi sungai,
kepalamu berdaah cukup banyak. Waktu itu sudah lama sekali. Mungkin karena sifat
asalmu adalah sangat mencintai alam dan juga suka menolong. Hingga saat kau
tersadar dari pingsan, kau sampai lupa dengan pertanyaan ini, karena saking
sibuknya membantu warga kampung sini.” Tamir tersenyum mengenang memori yang
ada di pikirannya, sedang aku tetap bingung. Jika kakek itu datang kembali
dalam mimpiku, bagaimana aku akan menjawab pertanyaannya tentang mimpi?
“Kawanku... coba jawab pertanyaanku.
Apa kau sungguh peduli dengan masa lalumu? Apa kau sungguh peduli dengan hal yg
tak pasti?” Tamir memegang bahuku.
“Apakah mimpi itu suatu yang pasti?”
aku malah balik bertanya.
“Mimpi? Maksudmu cita-cita?”
“Iya. Mimpi.. cita-cita, apapun itu?
apakah itu nyata?” aku semakin bersemangat menyerangnya dengan pertanyaan
‘sederhana’ itu.
“Hmm... itu, itu nyata Farhan.
Senyata kau dan aku.”
“Apakah setiap orang wajib untuk
bermimpi? Mengapa aku tidak punya mimpi? Kau... aku tahu kau sangat ingin
menjadi Arsitek, bahkan kedua tanganku ini menjadi saksi akan kerja kerasmu
saat aku ikut membantumu. Pak Rusli, Beliau sangat ingin membuat peternakan
sapinya maju, karena itu adalah mimpinya. Dengan tangan ini pula aku selalu
membantu sapi-sapinya ketika beranak. Juga kampung ini, menjadi lebih indah
dari sebelumnya. Karena kampung ini punya mimpi, warganya berambisi untuk mencapai
sesuatu. Lantas aku? Aku hanya membantu Tamir! Karena aku tidak punya tujuan
yang berarti!” nada bicaraku meninggi. Entah mengapa aku menjadi begini. Sangat
tidak enak sebenarnya berbicara dengan cara seperti ini.
“Aku tahu kau sedang gelisah Farhan,
kau tak perlu marah. Tapi menurutku apa yang kau lakukan ini adalah sesuatu yng
benar bukan? Kami sudah menganggapmu bagian dari kampung ini.” Ujar Tamir
mencoba mengimbangi ucapanku.
“Aku... aku pamit dulu, sampai
nanti.” Dengan dada yang masih sesak akan pertanyaan-pertanyaan, aku bangkit
dari tempat duduk tanpa menoleh lagi ke arahnya.
+++
Jam tanganku menunjukkan pukul dua
belas malam, cukup larut bagi orang yang sedang melamun sepertiku. Saung tengah
sawah milik Kepala Desa yang biasa dipenuhi para penjudi kini sudah tidak ada
lagi, mereka sudah menemukan kegiatan yang lebih bermanfaat dari pada
mengahabiskan uang mereka dengan berjudi, tinggallah aku sendiri disini, dulu
aku yang mendukung Pak Kades untuk segera memberantas perjudian dan memberi
alternatif pekerjaan bagi mereka saat musim paceklik. Entah dengan mengirim
mereka ke kota untuk menjadi pembantu rumah tangga, buruh honorer, apapun itu
yang bisa menghindarkan mereka dari berjudi. Kini mereka telah berubah, juga
karena keinginan mereka sendiri. Dan aku... aku bahkan tak ingin tidur, karena
takut saat aku tertidur aku bertemu kakek itu lagi dan tak bisa menjawab
pertanyaannya. Saat lidahku kaku, itu benar-benar seperti nyata!
“Farhan!
Farhan!” kedengarannya bukan Cuma satu orang yang memanggilku, dari kejauhan
terlihat nyala beberapa obor mendekatiku, sejurus kemudian baru terlihat
puluhan orang sedang berlarian menghampiriku, Tamir berada di garis terdepan
bersama pak Kades.
“Kau ini kemana saja hah! kami
seharian mencarimu!” belum pernah aku melihat Tamir semarah ini.
“Apa yang sebenarnya terjadi nak?
Kami semua khawatir.” Kali ini Pak Kades angkat bicara, sambil memegang obor ia
mendekatiku.
“Apa Bapak punya mimpi?” bibirku
langsug saja mengajukan pertanyaan.
“Yah.. tentu, mimpiku adalah bisa
memimpin kampung ini ke arah yang lebih baik.” Dengan nada rendah dan pembawaan
yang tenang, beliau sangat berwibawa.
“Boleh aku bertanya padamu? Hmm, apa
yang terlintas dipikiranmu saat membantu Pak Rusli mengurus peternakannya? Atau
saat membantu temanmu Tamir merenovasi rumahnya? Memberi ide padaku saat musim
paceklik waktu itu? apa yang ada dalam pikiranmu?” Pak Kades kembali bertanya.
“Aku... aku hanya... aku yakin
Kampung ini bisa menjadi lebih baik dari hanya sekedar berjudi di saung ini,
menaruh pendidikan di urutan terakhir kebutuhan mereka, aku yakin kampung ini
bisa berubah.” Airmataku menetes, bahkan aku tak merasa sedih sedikitpun.
“Itulah impianmu Nak! Itulah mimpi
paling mulia dibanding apapun!” Pak Kades menepuk bahuku.
“Impian bukanlah sesuatu yang selalu
kau sebut setiap hari, kau tempel di kamar besar-besar, impian bukan hanya
sekedar kata nak, impian adalah perbuatan. Dan kau berhasil Nak, kau telah
membantu mewujudkan impianku, impian para warga, kau adalah jembatan kami
menuju mimpi-mimpi kami Farhan. aku sangat beruntung bisa bertemu orang
sepertimu.” Pak Kades berbicara panjang lebar. Aku masih menangis, begitu juga
Tamir. Kami menangis bahagia, aku akhirnya bisa menjawab pertanyaan kakek itu
jika ia kembali datang ke dalam mimpiku. Dan juga aku menyadari satu hal, bahwa
ketika seseorang tidak bisa menjawab saat di tanya apakah ia punya mimpi atau
tidak? Bukan berarti mereka tidak punya mimpi. Tapi mungkin ia sedang meniti
jalan menuju mimpi itu sendiri, tanpa mereka sadari. Dan orang yang membantu
mewujudkan mimpi orang lain, adalah kebaikan yang sangat besar yang balasannya
langsung disegerakan.
Bermimpilah!
Dan bantu orang disekitarmu yang juga sedang bermimpi!
---the
end---
terimakasih saya mendapatkan insight yang luar biasa
BalasHapus