Laman

Sabtu, 19 Januari 2013

Aku tidak punya mimpi!



            “Terima kasih atas bantuanmu Farhan, kau benar-benar sangat membantu pekerjaanku hari ini.” Pak Rusli mengusap peluh di keningnya. Memeras susu sapi tidak semudah kelihatannya. Membutuhkan teknik khusus, kita harus tahu kapan sapi siap untuk diperas, belajar memahaminya. Aku sampai senyum-senyum sendiri, ternyata binatang ingin dimengerti juga atas perasaannya. Bagaimana manusia yang notabene seringkali memakai hati dalam menghadapi hidup.
            “Sama-sama Pak, ini bukan apa-apa.” Sahutku sambil membersihkan tangan di westafel, peternakan sapi beliau sedikit banyak telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibanding sebelumnya.
            “Aku harus pergi, senang sekali bisa membantumu hari ini.” Setelah mengeringkan tangan aku harus bergegas.
            “Nak, bawalah ini, jangan sungkan-sungkan.” Pak Rusli memaksaku untuk menerima sebotol susu segar. Aku terpaksa menerimanya.
            “Kau tidak perlu begitu.” Ucapku.
            “Ini bukan apa-apa Nak.” Balasnya sambil tersenyum, mengingatkanku akan perkataanku barusan, aku melangkah keluar dari peternakan sambil meneguk susu segar.
            +++
            Sangat menyenangkan bisa tinggal di kampung ini, sebuah tempat yanng berada persis di kaki bukit, rerumputan tumbuh subur menghijau sejauh mata memandang, udara dingin dengan suhu yang nyaman untuk ditinggali, belum lagi aliran mata air yang menghidupi pemukiman penduduk disekitarnya, mengairi ladang-ladang, menghidupi hewan ternak, tetumbuhan. Sungguh aku sangat beruntung berada disini.
            “Farhan, kemarilah! aku butuh bantuanmu.” Teman baikku Tamir memanggil, kepalaku menggeleng. Dia tahu aku lelah dan enggan untuk sedikit memaksaku.
            “Hmm, oke istirahatlah, jika tenagamu sudah kembali terisi mampirlah kerumahku.” Ia menepuk bahuku lalu pamit menjauh, Kubalas dengan anggukan kecil.
+++
            “Mimpi... kita semua bermimpi. Menjadi Insinyur, Dokter, bahkan Presiden. Lantas pertanyaannya, apa mimpimu nak?” seorang kakek tua bertanya padaku. Pertanyaan itu agak asing buatku. Mimpi? Aku terdiam cukup lama, lalu saat kucoba menggerakkan mulutku untuk menjawab. Lidahku tiba-tiba menjadi kaku! Seakan lidah ini terbuat dari potongan besi yang sudah dingin. Mataku hanya tertuju kepada kakek tua itu, sedang suasana tempat kami berbicara buram, seakan kami tidak berada dimanapun.
            “Kau tak mampu menjawabnya anakku? Kau tak tahu kenapa kau tak bisa menjawab? Karena kau tidak pernah bermimpi! Kau hanya melakukan, tanpa berfikir! Kau tak punya tujuan anakku. Bahkan kau lupa kapan terakhir kali kau bermimpi bukan?” kakek tua itu mengelus janggutnya yang beruban panjang, melihatku dengan tatapan nanar.
            “Sadarlah anakku, temukan jawaban atas pertanyaan sederhana ini.”
            Mataku terbuka, keringat sudah membanjiri sekujur tubuhku. Ini mimpi yang sangat aneh! Jika kupikir-pikir lagi. perkataan kakek itu benar juga. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku bermimpi di saat aku tidur. Selama ini aku hanya tidur tanpa bermimpi, lalu bangun dan kembali membantu penduduk kampung.  Aku lupa darimana asalku. Aku... apa sebenarnya tujuanku disini? Dan... siapa diriku sebenarnya?
+++
            Ruang tamu rumah Tamir sangat indah, design interiornya sederhana namun sekaligus memberikan kesan megah dan bersih. Aku membantunya saat ia membangun tempat tinggalnya. Juga tempat kami saat ini duduk. Kursi berbalut kulit asli. Sangat nyaman bagi siapapun tamu yang duduk.
            “Jika kau bertanya padaku siapa dirimu sebenarnya? aku tidak bisa menjawabnya.” Air muka Tamir berubah, aku bisa melihatnya.
            “Lantas kenapa aku bisa ada disini kawan?” aku meneguk teh yang tersaji di atas meja.
            “Aku menemukanmu di sisi sungai, kepalamu berdaah cukup banyak. Waktu itu sudah lama sekali. Mungkin karena sifat asalmu adalah sangat mencintai alam dan juga suka menolong. Hingga saat kau tersadar dari pingsan, kau sampai lupa dengan pertanyaan ini, karena saking sibuknya membantu warga kampung sini.” Tamir tersenyum mengenang memori yang ada di pikirannya, sedang aku tetap bingung. Jika kakek itu datang kembali dalam mimpiku, bagaimana aku akan menjawab pertanyaannya tentang mimpi?
            “Kawanku... coba jawab pertanyaanku. Apa kau sungguh peduli dengan masa lalumu? Apa kau sungguh peduli dengan hal yg tak pasti?” Tamir memegang bahuku.
            “Apakah mimpi itu suatu yang pasti?” aku malah balik bertanya.
            “Mimpi? Maksudmu cita-cita?”
            “Iya. Mimpi.. cita-cita, apapun itu? apakah itu nyata?” aku semakin bersemangat menyerangnya dengan pertanyaan ‘sederhana’ itu.
            “Hmm... itu, itu nyata Farhan. Senyata kau dan aku.”
            “Apakah setiap orang wajib untuk bermimpi? Mengapa aku tidak punya mimpi? Kau... aku tahu kau sangat ingin menjadi Arsitek, bahkan kedua tanganku ini menjadi saksi akan kerja kerasmu saat aku ikut membantumu. Pak Rusli, Beliau sangat ingin membuat peternakan sapinya maju, karena itu adalah mimpinya. Dengan tangan ini pula aku selalu membantu sapi-sapinya ketika beranak. Juga kampung ini, menjadi lebih indah dari sebelumnya. Karena kampung ini punya mimpi, warganya berambisi untuk mencapai sesuatu. Lantas aku? Aku hanya membantu Tamir! Karena aku tidak punya tujuan yang berarti!” nada bicaraku meninggi. Entah mengapa aku menjadi begini. Sangat tidak enak sebenarnya berbicara dengan cara seperti ini.
            “Aku tahu kau sedang gelisah Farhan, kau tak perlu marah. Tapi menurutku apa yang kau lakukan ini adalah sesuatu yng benar bukan? Kami sudah menganggapmu bagian dari kampung ini.” Ujar Tamir mencoba mengimbangi ucapanku.
            “Aku... aku pamit dulu, sampai nanti.” Dengan dada yang masih sesak akan pertanyaan-pertanyaan, aku bangkit dari tempat duduk tanpa menoleh lagi ke arahnya.
+++
            Jam tanganku menunjukkan pukul dua belas malam, cukup larut bagi orang yang sedang melamun sepertiku. Saung tengah sawah milik Kepala Desa yang biasa dipenuhi para penjudi kini sudah tidak ada lagi, mereka sudah menemukan kegiatan yang lebih bermanfaat dari pada mengahabiskan uang mereka dengan berjudi, tinggallah aku sendiri disini, dulu aku yang mendukung Pak Kades untuk segera memberantas perjudian dan memberi alternatif pekerjaan bagi mereka saat musim paceklik. Entah dengan mengirim mereka ke kota untuk menjadi pembantu rumah tangga, buruh honorer, apapun itu yang bisa menghindarkan mereka dari berjudi. Kini mereka telah berubah, juga karena keinginan mereka sendiri. Dan aku... aku bahkan tak ingin tidur, karena takut saat aku tertidur aku bertemu kakek itu lagi dan tak bisa menjawab pertanyaannya. Saat lidahku kaku, itu benar-benar seperti nyata!
            “Farhan! Farhan!” kedengarannya bukan Cuma satu orang yang memanggilku, dari kejauhan terlihat nyala beberapa obor mendekatiku, sejurus kemudian baru terlihat puluhan orang sedang berlarian menghampiriku, Tamir berada di garis terdepan bersama pak Kades.
            “Kau ini kemana saja hah! kami seharian mencarimu!” belum pernah aku melihat Tamir semarah ini.
            “Apa yang sebenarnya terjadi nak? Kami semua khawatir.” Kali ini Pak Kades angkat bicara, sambil memegang obor ia mendekatiku.
            “Apa Bapak punya mimpi?” bibirku langsug saja mengajukan pertanyaan.
            “Yah.. tentu, mimpiku adalah bisa memimpin kampung ini ke arah yang lebih baik.” Dengan nada rendah dan pembawaan yang tenang, beliau sangat berwibawa.
            “Boleh aku bertanya padamu? Hmm, apa yang terlintas dipikiranmu saat membantu Pak Rusli mengurus peternakannya? Atau saat membantu temanmu Tamir merenovasi rumahnya? Memberi ide padaku saat musim paceklik waktu itu? apa yang ada dalam pikiranmu?” Pak Kades kembali bertanya.
            “Aku... aku hanya... aku yakin Kampung ini bisa menjadi lebih baik dari hanya sekedar berjudi di saung ini, menaruh pendidikan di urutan terakhir kebutuhan mereka, aku yakin kampung ini bisa berubah.” Airmataku menetes, bahkan aku tak merasa sedih sedikitpun.
            “Itulah impianmu Nak! Itulah mimpi paling mulia dibanding apapun!” Pak Kades menepuk bahuku.
            “Impian bukanlah sesuatu yang selalu kau sebut setiap hari, kau tempel di kamar besar-besar, impian bukan hanya sekedar kata nak, impian adalah perbuatan. Dan kau berhasil Nak, kau telah membantu mewujudkan impianku, impian para warga, kau adalah jembatan kami menuju mimpi-mimpi kami Farhan. aku sangat beruntung bisa bertemu orang sepertimu.” Pak Kades berbicara panjang lebar. Aku masih menangis, begitu juga Tamir. Kami menangis bahagia, aku akhirnya bisa menjawab pertanyaan kakek itu jika ia kembali datang ke dalam mimpiku. Dan juga aku menyadari satu hal, bahwa ketika seseorang tidak bisa menjawab saat di tanya apakah ia punya mimpi atau tidak? Bukan berarti mereka tidak punya mimpi. Tapi mungkin ia sedang meniti jalan menuju mimpi itu sendiri, tanpa mereka sadari. Dan orang yang membantu mewujudkan mimpi orang lain, adalah kebaikan yang sangat besar yang balasannya langsung disegerakan.
Bermimpilah! Dan bantu orang disekitarmu yang juga sedang bermimpi!
---the end---
           


1 komentar: